-->

Khitbah (Peminangan) - Dasar hukum dan tata caranya

Apa itu khitbah? - Khitbah adalah permintaan dari seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk menikahi seorang wanita yag halal dinikahi secara syara'. Adapun pelaksanaanya beragam, adakalanya peminangan itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan atau melalui keluarga dan melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminang orang yang dikhendaki.
Khitbah (Peminangan) - Dasar hukum dan tata caranya
Khitbah (Peminangan) - Dasar hukum dan tata caranya | Gambar hanya ilustrasi
Sumber gambar: Google.com

Pengertian khitbah atau peminangan


Kata peminangan berasal dari kata "pinang", meminang (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arabnya disebut khitbah. Menurut etimologi meminang atau melamar artinya, meminta wanita untuk dijadikan istri  (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan upaya perjodohan seorang pria dengan wanita atau seorang laki-laki meminta keapada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.  Peminangan dalam ilmu fiqh disebut dengan "khitbah" yang mempunyai arti permintaan. Menurut istilah mempunyai arti menunjukan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki pada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seorang yang dipercaya.

Menurut KHI pasal 1 huruf a: peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.

S. A. Al Hamdani dalam risalah nikah, peminangan adalah kebiasaan arab lama yang diteruskan oleh islam. Meminang dilakukan sebelum terjadinya akad nikah dan setelah dipilih masak-masak. Allah menggariskan bahwa sebelum akad nikah agar masing-masing pasangan saling mengenal, sehingga pelaksanaan perkawinan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas. 

Di dalam UU perkawinan, peminangan ini tidak dikenal. Alasanya mungkin karena peminangan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Jadi tidak ada implikasi hukum dari sebuah peminangan, tentu saja ini berbeda dengan hukum islam, kedati peminangan tidak dapat disebut dengan peristiwa hukum yang tidak menimbulkan ipmlikasi moral. Atas dasar ini pula mengapa peminangan itu walaupun tidak memiliki implikasi hukum tetap diberikan aturan-aturan moral yang tegas.
Kendatipun UU perkawinan tidak mengaturnya, para pengkaji hujum islam menyebut syarat perkawinan yang ada di pasal 6 dan 8 sebenarnya secara implisit mengatur peminangan tersebut. Salah satu syarat perkawinan adalah adanya persetujuan kedua calon mempelai. Oleh yahya harahap pasal ini mengisyaratkan untuk terjadinya persetujuan bersama mengharuskan adanya peminangan atau lamaran yang artinya kenal-kenalan atau saling mengenal. 

1.Dasar Hukum khitbah atau meminang :

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (al-Baqarah:235)

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”

2. Syarat khitbah, halangan khitbah dan cara khitbah:

Syarat peminangan tidak dapat dipisahkan darihalanganya. Karena syarat dan halangan peminangan diuraikan dalam suatu sub pembahaasan.
Garis hukum peminangan terinci di dalam pasal 12 ayat (1) KHI mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Selain itu pasal 12 ayat (2),(3), dan (4) menyebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang mempunyai karakteristik:
  • Ayat (2): wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam masa iddah raj'I, haram dan di larang untuk dipinang.
  • Ayat (3): dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
  • Ayat (4):putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria meminang telah menjauhi atau meninggalkan wanita yang dipinang.
Dari Pasal 12 ayat 2,3 dan 4 KHI diatas, dapat ditentukan bahwa wanita yang termasuk untuk untuk dipinang dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
  1. Wanita yang dipinang bukan istri orang.
  2. Wanita yang dipinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain.
  3. Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj'i. karena perempuan yang sementara menjalani iddah raj'i berarti masih ada hak bekas suami untuk merujukinya.
  4. Wanita yang menjalani masa iddah waffat, hanya dapat dipinang dalam bentuk sindiran.
  5. Wanita yang menjalani masa iddah bain sugra dari bekas suaminya.
  6. Wanita yang menjalani masa iddah bain kubra dapat dipinang oleh bekas suaminya sesudah kawin dengan laki-laki lain(ba'da dukhul) kemudian diceraikan. Sementara bekas suami dimaksud juga sudah menikah dengan perempuan lain.
Dapat disimpulkan bahwa wanita yang mempunyai status dari yang dijelaskan diatas, terhalang untuk dipinang. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, ia berhak melihat wanita yang dipinangnya, hukumnya sunnah. Dengan melihat tersebut, pihak laki-laki dapat mengetahui identitas pribadi wanita yang akan menjadi calon istrinya. 

Pada dasarnya peminangan adalah proses awal dari suatu perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang secara hukum syara' boleh dikawini oleh seorang laki-laki, boleh dipinang. Hal ini berarti tidak boleh meminang orang yang secara syara' tidak boleh dikawini.

3. Penyampaian untuk khitbah

Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan ada dalam dua cara:
  1. Pertama:menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali peminangan seperti ucapan:"saya berkeinginan untuk mengawinimu".
  2. Kedua:menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah, yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan:"tidak ada orang yang tidak senang kepadamu".
Perempuan yang belum pernah kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran.

Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun janji akan dinikahinya pada waktu di telah boleh dikawini, baik menggunakan bahasa terus terang seperti"bila kamu dicerai oleh suamimu saya akan mengawini kamu" atau dengan sindiran, seperti"jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu".

Dan perempuan yang sedang menjalani masa iddah raj'I, kematian suami atau di talak ba'in maka tidak boleh meminang dengan terus terang hanya boleh dengan sindiran. Dan tidak boleh pula meminang orang yang dalam pinangan orang lain. 

Dalam peminangan juga seorang boleh melihat perempuan yang akan dipinangnya, meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada perempuan. Kebolehan ini untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kesejahteraan dan kesenanganya, seyogyanya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya, sehingga ia dapat menentukan apakah peminanganya diteruskan atau dibatalkan, adapu  melihat perempuan itu diperbolehkan selama batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi SAW:
عَنِ اْلمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّهُ اَحْرَى اَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا. الخمسة الا ابا داود
Dari Mughirah bin Syu’bah, sesungguhnya ia pernah meminangseorang wanita, lalu Nabi SAW bersabda,“Lihatlah dia, karenasesungguhnya hal itu lebih menjamin untuk melangsungkanhubungan kamu berdua”. [HR. Khamsah kecuali Abu Dawud] 

Untuk lebih spesifiknya para fuqaha' masih berbeda pendapat dalam masalah batas diperbolehkanya melihat orang yang akan dipinang seperti:

1. Mayoritas fuqaha' seperti imam malik, Asy-Syafi'i, dan ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menyimpan segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalil mereka adalah berdasarkan firman Allah
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
"dan janganlah menampakan perhiasanya(auratnya), kecuali apa yang biasa terlihat darinya." (Q.S An-Nur 31).

2. Ulama hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja dirumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya. Adapun alasan mereka: Nabi SAW: tatkala memeperblehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuanya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umunya. Oleh karena itu tidak mungkin hanya memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah.

3. Dawud azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW "lihatlah kepadanya". Di sini Rasulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu kebolehan melihat. 
Pendapat Azh-Zhahriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma' ulama dan menyalahi prinsip tunttan kebolehan suatu karena darurat diperkirakan sekadarnya. 

Pendapat yang kuat(rajih), yakni bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki. Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan yang ada pada wanita terpinang, baik dari segi fisik, suara, suara, pemikiran, dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaanya. Kadangkala wanita terpinang tidak terlalu cantik, tetapi terkadang baik sifat-sifat dan tingkah lakunya, seorang laki-laki dapat terpedaya karena sifat, akhlak, dan kecerdasanya.

Kapan dibolehkannya melihat wanita yang udah di khitbah?

Adapun waktu melihat wanita terpinang mayoritas ulama berpendapat pada saat seorang laki-laki memilik azam (keinginan kuat) menikah dan ada kemampuan baik secara fisik dan materil.  Dan melihat wanita terpinang dilakukan sebelum khitbah, bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat meninggalkanya tanpa menyakitinya. 

Selain tata cara peminangan ada juga tentang pembatalan peminangan. Pembatalan peminangan menjadi hak masing-masing pihak yang telah mengikat perjanjian. Dalam ajaran islam tidak ada hukuman materil terhadap seseorang yang menyalahi janjinya, sekalipun perbuatan itu dipandang amat tercela dan salah satu sifat-sifat kemunafikan terkecuali ada alasan-alasan pembenar. Maslah peminangan ini diatur dalam KHI pasal 12 ayat (4) dan pasal 13 yakni:
Pasal 12 ayat 4 putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria meminang telah menjauhi atau meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13
  1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
  2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbinan kerukunan dan saling menghargai.
Dalam masa pertunangan ini biasanya ada pemberian barang-barang sebagai hadiah dari pihak calon suami kepada calon istrinya. Pemberian ini dalam adat jawa disebut peningset atau tanda ikatan cinta. Pemberian dan hadiah yang telah diberikan sama dengan hibah.

Menurut madzhab syafi'i, barang-barang hadiahnya harus dikembalikan jika masih utuh, jika sudah rusak diganti sesuai harganya. Sedang menurut madzhab maliki, jika membatalkanya dari pihak pria, maka tidak berhak lagi atas barang yang dihadiahkan. Tetapi jika pihak perempuan yang membatalkan, maka pihak laki-laki berhak meminta kembali semua barang yang sudah dihadiahkan baik masih utuh atau rusak, jika rusak maka harus diganti terkecuali ada perjanjian sebelumnya, atau berdasrkan urf yang berlaku. 

4. Hikmah khitbah

Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.

Akad nikah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara. Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali setelah diseleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tenteram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan ketenangan. Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah antara lain hikmah disyariatkan khitbah dalam islam untuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.

Kesimpulan:

Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari kelaurganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk menikahi seorang wanita yag halal dinikahi secara syara'. Adapun pelaksanaanya beragam, adakalanya peminangan itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan atau melalui keluarga dan melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminang orang yang dikhendaki. Hadist Nabi “Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”

Dasar hukum peminangan terinci di dalam pasal 12 ayat (1) KHI mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Selain itu pasal 12 ayat (2),(3), dan (4) menyebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang mempunyai karakteristik. Cara khitbah  juga ada dua cara yaitu dengan tegas dan kinayah (sindiran). Batas melihat pinangan para ulama sepakat yaitu wajah dan kedua telapak tangan dan tumit kaki.

Adapun hikmah peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.

Wallahu a'lam.

Referensi:

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.

Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad, dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta:Amzah.

Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:Kencana Pernada Media Group.

Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia. Jakarta:Kencana Pernada Media Group.

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:Kencana Pernada Media Group. 
Load comments

0 Response to "Khitbah (Peminangan) - Dasar hukum dan tata caranya"

Post a Comment

Peraturan berkomentar:
1. Dilarang berkomentar dengan link aktif.
2. Dilang mempromosikan barang atau jasa.
3. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan.
4. No SARA.

Jangan lupa untuk membagikan artikel dalam blog ini kepada teman-teman. Terima kasih sudah berkunjung.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel