Apa itu akad nikah dan bagaimana lafal akad pernikahan?
10/18/17
Add Comment
Apa itu akad nikah? - Akad menurut bahasa (lughah), diambil dari kata عقد- يعقد- عقدا yang berarti mengikat sesuatu dan juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan, seperti halnya dalam perkataan عقد البيع, yaitu seseorang melakukan ikatan jual beli.
Menurut istilah syara, pengertian akad nikah adalah sebagai berikut:
- Menurut Al-Zurjani, akad menurut syara adalah: “suatu ikatan yang merupakan untuk melakukan sesuatu dengan adanya ijab dan qabul”.
- Menurut Ibn Abidin yang dikutip Rachmat Syafe’I, akad adalah: “perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya”.
Akad adalah suatu ikatan yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak yang berbentuk (wujud) perkataan ijab dan qabul.
Baca juga: Kupas tuntas tentang akad pernikahan
Baca juga: Kupas tuntas tentang akad pernikahan
- Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya: “saya nikah kawinkan anak saya bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”.
- Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “saya terima nikah dan kawinnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an.
Apa itu akad nikah dan bagaimana lafal akad pernikahan? | Gambar hanya ilustrasi
Sumber gambar: Google.com
|
Namun kompilasi hukum islam secara gamblang mengatur akad perkawinan dalam pasal 27, 28 dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqih dengan rumusan sebagai berikut:[1]
Pasal 27
Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
- Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi.
- Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
- Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilakukan.
Pengertian kata akad nikah, dapat diambil beberapa rumusan pengertian akad nikah yaitu:
- Menurut hukum syara; akad nikah atau perkawinan adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetebuhan dengan menggunakan lafazh “menikahkan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab qabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya.
- Pasal 1 sub ci didalam kompilasi hukum islam, dikatakan bahwa akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau oleh wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi (Cik Hasan Bisri, 1999:139)
Keempat ulama mazhab sepakat bahwa: akad yang dilakukan dengan bermain sekalipun mengikat dan mengesahkan perkawinan. Jadi, kalau ada seorang perempuan berkata kepada seorang laki-laki, “Saya nikahkan diriku kepadamu” dan si laki-laki menjawab, “aku terima akad nikah kepadamu,” maka terjadilah pernikahan, sekalipun dilakukan dengan main-main. Demikian pula halnya dengan talak dan memerdekakan sahaya[2]; berdasarkan sebuah riwayat yang mengatakan bahwa:
ثلاث جد هن جد٬ وهز لهن جد: الزواج والطلاق والعتق
“Ada tiga hal yang apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dia dianggap sungguh-sungguh, dan bila dilakukan dengan main-main ia dianggap sungguh-sungguh pula: perkawinan, talak, dan memerdekakan sahaya”
Baca juga:
Hukumnya melihat anggota tubuh wanita yang dikhitbah
Wanita-wanita yang tidak boleh di khitbah
Syarat shigat akad (lafal akad) [3]
Disini ada beberapa syarat pada ijab dan qabul, sebagian menetap pada Shighat akad dan sebagian lain menetap pada lafal yang menentukan keabsahan akad. Berikut ini akan dijelaskan beberapa syarat ijab-qabul.
1. Shighat akad berbentuk kata kerja (Fi’il)
Lafal yang mengungkapkan ijab-qabul yang menunjukkan penelenggaraan akad berbentuk kata kerja (Fi’il). Pada dasarnya lafal yang digunakan mengungkap penyelenggaraan akad dalam syarat hendaknya fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau). Hal tersebut dikarenakan fi’il madhi merupakan bentuk kalimat yang mengungkapkan penyelenggaraan akad dalam bahasa Arab, seperti zawwajtu atau tazawwajtu (aku nikahkan engkau), ungkapan inilah yang kemudian disebut ijab. Kemudian dijawab, radhitu (aku ridha) dan wafaqtu (aku setuju), yang kemudian disebut qabul.
Terkadang ijab menggunakan fi’il mudhari’ (kata kerja bentuk sedang atau akan datang) sedang qabul menggunakan fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau), misalnya ucapan seorang laki-laki kepada seorang wanita: Atazawwajtuki (aku menikahimu) wanitapun menjawab: Qabiltu zawajaka (aku terima pernikahanmu). Dengan demikian, sahlah pernikahannya dengan menggunakan bentuk akad yang menunjukan pekerjaan waktu sedang atau akan datang (fi’il mudhari) jika tidak ada indikasi maksud kata kerja tersebut adalah menyepakati akad waktu sekarang sehingga tidak menentang dan tidak menuntut janji dari pihak yang lawan.
2. Lafal yang jelas maknanya
Hendaknya lafal yang digunakan menunjukan pernikahan baik dari segi materi maupun substansinya, baik dalam makna yang sebenarnya (makna hakikat) secara bahasa maupun makna kiasan yang sudah terkenal, atau sampai ketingkat makna yang sebenarnya dalam bahasa maupun makna kiasan yang disertai indicator. Dengan demikian, makna tersebut menjadi jelas dalam akad pernikahan.
Lafal tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
- Pertama, menggunakan lafal yang jelas (sharih) menunjukan pada makna pernikahan secara hakiki, yaitu yang dikandung dalam lafal nikah, tazwij, dan akar kata dari keduanya.
- Kedua, menggunakan lafal kiasan yang maksudnya ditunjukan oleh indikator kondisi, mislanya hibah (pemberian), shadaqah, pemilikan, dan hadiah. Kata-kata ini tidak membuat sahnya akad kecuali disertai indikasi yang memberi makna pernikahan. Di kalangan Ulama Fiqh terdapat empat pendapat, yaitu sebagai berikut :[4]
- Imam Hanafi berpendapat: akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz Al-amlik (pemilikan), Al-hibah (penyerahan) , Al-bay’ (penjualan) , Al-‘atha’ (pemberian) , Al-ibahah (pembolehan) dan Al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah yang menunjukan arti nikah.
- Imam Maliki dan Imam Hambali berpendapat: Akad nikah dianggap sah jika mengunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Juga dianggap sah dengan lafal-lafal al-hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata tersebut diatas tidak dianggap sah.
- Imam Syafi’I berpendapat bahwa: Redaksi akad harus merupakan kata bentuk dari lafal al-tazwij dan an-nikah saja, selain itu tidak boleh.
3. Adanya Persamaan Ijab dan Qabul
Harus ada persamaan antara ijab dan qabul baik secara jelas maupun kandungan maknanya. Jika terjadi perbedaan antara ijab dan qabul maka tidak sah akad, baik perbedaan itu dalam ukuran mahar maupun dalam permasalahan yang diakadi.
4. Ketersambungan Qabul Setelah Ijab
Maksudnya, ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis untuk mencapai keterpautan antara keduanya. Jika ijab diucapkan di suatu majelis, qabul diucapkan di majelis lain berarti tiak terkait antara qabul dan ijab karena di majelis yang terpisah. Apabila ijab dan qabul diucapkan di satu majelis maka sahlah akadnya, karena ada ketersambungan antara keduanya.
Maksud ketersambungan disini bukanlah qabul segera diucapkan setelah ijab, tetapi tidak ada pemisah antara keduanya yang menunjukan adanya keterpalingan dari orang yang ijab atau dari yang qabul. Jika tidak terjadi pemisah dan qabul dilaksanakan sempurna, maka tersambunglah dengan ijab.
5. Tidak Meralat Ijab sebelum Qabul
Jika pihak ijab meralat ijab-nya sebelum qabul, ijab-nya dianggap tidak ada, berarti akadnya tidak jadi. Dikarenakan jika pihak ijab meralatnya sebelum qabul-nya pihak lain, berarti ia membuang ijab. Jika datang qabul setelah itu, berarti ia datang tanpa ijab. Boleh saja bagi pihak ijab meralat ijab-nya selama belum tersambungnya dengan qabul, karena pertanyaan tidak sempurna sebelum dengan qabul, karena pertanyaan tidak sempurna sebelum tersambung dengan jawaban antara dua rukun akad. Jika tidak ada jawaban.
6. Shighat Akad Ringkas
Shigat akad hendaknya terlepas dari catatan atau syarat, sehingga menimbulkan pengaruh seketika. Shighat akad tidak boleh bergantung kepada urusan yang akan datang atau disandarkan pada waktu yang akan datang. Pernikahan yang bergantung kepada syarat yang akan datang, hukum akadnya batil apabila syarat yang digantungi tidak tercapai wujudnya pada masa yang akan datang, sperti wujudnya sesuatu yang masih dalam kemungkinan.
7. Shighat Akad untuk Selamanya
Shighat yang digunakan dalam akad nikah hendaknya selamanya, tidak boleh dibatasi waktunya dengan pembatasan tertentu, baik dalam waktu yang panjang atau lama maupun waktu yang pendek atau sebentar. Pembatasan waktu dalam pernikahan dengan pembatasan waktu tertentu akan membatasi pemanfaatan seksual, dan ini bukan tujuan asal dari pernikahan. Tujuan pernikahan yang asal adalah ketenangan, cinta, kasih saying, memelihara keturunan, meningkatkan derajat manusia, gotong royong dalam kehidupan dan kebersamaan dalam keadaan senang dan sedih.
Syarat akad nikah
Dalam akad nikah ada empat macam syarat, yaitu sebagai berikut:
- Syarat terjadinya akad
- Syarat sah
- Syarat pelaksanaan
- Syarat keharusan
Yang akan dijelaskan dalam point-point berikut ini:
1. Syarat terjadinya akad
Syarat adalah sesuatu yang harus ada pada saatnya, baik berupa rukun akad itu sendiri maupun dasar-dasar rukun sehingga jika tertinggal sedikit dari bagian syarat maka rukun tidak terpenuhi.
Syarat dua orang yang berakad
Dua orang yang berakad adalah dari dua belah pihak yang menyelenggarakan akad nikah. Syarat dua orang yang berakad ada dua, yaitu sebagai berikut:
- Masing-masing dari dua belah pihak yang melaksanakan akad hendaknya mempunyai keahlian berkomunikasi. Demikian itu dapat diuji kepandaian akalnya (mumayyiz), maknanya orang yang melakukan akad itu berakal.
- Masing-masing dari yang menyelenggarakan akad hendaknya mendengar perkataan yang lain dan faham maksudnya.
Demikian juga jika akad dihadiri dan tidak berlaku akad dengan lafal,misalnya salah satu dari kedua belah pihak bisu, tuli, dan atau keduanya yakni bisu dan tuli, cukup bagi masing-masing yang menyelenggarakan akad mengetahui tujuan tulisan atau isyarat. Inilah antara syarat secara umum yang disyaratkan dalam akad nikah atau akad yang lain.
2. Syarat sah
Syarat sah nikah adalah yang membuat akad itu patut menimbulkan beberapa hukum. Jika satu syarat saja tidak ada, maka akadnya rusak, adapun sayarat sah akad ada tiga; adanya persaksian, wanita tidak haram untuk selamanya atau sementara bagi suami, dan shighat akad hendaknya untuk selamanya.
3. Syarat pelaksanaan akad
Syarat pelaksanaan mendekati syarat jadi dan syarat sah yang mendapat perhatian keduanya. Syarat pelaksanaan akad pernikahan ada empat, yaitu sebagai berikut:
- Masing-masing suami isteri sempurna keahliannya (keahlian seseorang maksudnya kepatutan melaksanakan sesuatu dan pertanggung jawabannya. Menurut syara’ ungkapan kepatutan seseorang dalam melaksanakan hak-hak yang di syariatkan, Kasyfu Al-Asrar, juz 4. Hlm. 1257.) dalam penguasaan akad, baik dilaksanakan sendiri maupun diwakilkan kepada orang lain. Maksud kesempurnaan keahlian akad adalah berakal dan baligh.
- Masing-masing dari dua orang yang melaksanakan akad hendaknya mempunyai sifat penguasaan akad, adakalanya asli dari diri sendiri atau dengan kewalian pada orang lain atau perwakilan. Jika salah satunya atau keduanya fudhuli(selain diatas), sah akad dan pelaksanaannya terhenti pada izin orang yang mempunyai hak, yaitu orang yang di akadi serta dapat menimbulkan pengaruh hukum.
- Disyaratkan dalam pernikahan dengan perwakilan, hendaknya wakil tidak menyalahi perkara yang di wakilkan. Jika ia menyalahinya, akadnya terhenti pada izin orang yang terwakili.
- Hendaknya yang melaksanakan akad bukan wali atau setelahnya sedangkan yang lebih dekat tidak ada di tempat. Jika telah dilaksanakan akad kemudian hadirlah wali terdekat, ia boleh memilih antara izin akad wali yang jauh dan membatalkannya.
4. Syarat keharusan nikah
Maksudnya, syarat-syarat yang menimbulkan keberlangsungan dan kontinuitas pernikahan dan tidak ada pilihan bagi salah satunya untuk menghindarinya. Jika salah satu syarat tersebut cacat, maka rusaklah akad. Syarat keharusan nikah ini adalah bagian terakhir dari beberapa syarat pernikahan. Syarat keharusan nikah ini setelah didahului syarat jadi, syarat sah, dan syarat pelaksanaan.
Macam-macam akad nikah
1. Akad nikah sah murni dan hukumnya
Pernikahan sah murni adalah yang memenuhi segala persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan sebagaimana yang telah dijelaskan, yakni kedua orang yang berakad, ahli dalam melaksanakan akad, shigaht-nya menunjukan pemilikan kesenangan secara abadi, menyatu dalam satu majelis ijab-qabul, tidak terjadi perbedaan antara mereka berdua, masing-masing peng-ijab dan peng-qabul mendengar suara mereka berdua, dan lain-lainnya.
2. Akad nikah yang bergantung dan hukumnya
Akad pernikahan yang bergantung adalah akad shahih yang terhenti pada izin orang yang mempunyai kekuasaan, seperti akad pernikahan anak kecil yang sudah pandai (mumayyiz) terhenti pada izin walinya, terhentinya akad fudhuli atas izin orang yang diakadi,yakni suami isteri. Imam Muhammad Al-Wali, wanita berakal dan baligh disamakan dengan akad fudhuli. Jika ia dinikahkan tanpa didahului izin, akadnya bergantunng pada izinnya, kewaliannya berserikat, wali tidak memiliki hak paksa menikahkan. Hukum akad bergantung kepada izin dari wanita tersebut, jika ia mengizinkan maka akad sah sempurna dam menimbulkan segala hukum. Sedangkan jika belum izin maka tidak halal mencampurinya dan tidak ada hak waris antara mereka berdua.
3. Akad nikah yang rusak dan hukumnya
Ulama Hanafiyah membedakan antara akad bathil dan fasid (rusak). Bathil adalah sesuatu yang tidak disyariatkan pokok dan sifatnya seperti menjual bangkai atau menikahkna wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari beberapa syarat akad nikah.
Hukum akad fasid tidak mewajibkan sesuatu dari pengaruh-pengaruh pernikahan. Jika seseorang mencampuri wanita berdasarkan akad fasid ini, hukumnya maksiat.
4. Akad nikah bathil dan hukumnya
Akad bathil adalah semua akad yang terjadi kecacatan dalam shighat, misalnya ungkapan kedua orang yang bertekad tidak menunjukan pemilikan manfaat secara abadi. Atau terjadi pada keahlian dua orang yang berakad, misalnya mereka masih kecil dan belum mumayyiz, atau mereka gila atau salah satu dari semuanya.
Hukum akad ini tidak menetapkan sesuatu dan tidak menimbulkan pengaruh sesuatu seperti yang ditimbulkan dalam akad sah. [5]
Khilafiyah ulama mengenai akad
Seluruh ulama madzhab sependapat bahwa akad dengan menggunakan bahasa non-Arab adalah sah apabila yang bersangkuan tidak bisa melakukannya dalam bahasa Arab. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat apabaila ia mampu melakukannya. Hanafi, Maliki, dan Hambali menyatakan sah, sedangkan Syafi’I memandangnya tidak sah.
Sementara itu, Hambali dan Syafi’I berpendapat: akad nikah dengan tulisan (surat dan sebagainya) tidak sah. Hanafi menyatakan sah manakala orang yang dilamar dan melamar tidak berada di satu tempat yang sama.
Hambali dan Hanafi mengatakan: apabila pengantin laki-laki dan pengantin perempuan mensyaratkan khiyar (hak memilih atau menentukan) untuk membatalkan atau menarik kemabali akad nikah, maka akad nikah itu tetap sah, sedangkan syaratnya batal (tidak berlaku). Sementara menurut Maliki: harus dilihat dulu, jika mereka belum campur, maka akad dan persyaratannya batal, tetapi bila mereka telah campur, maka akad nikahnya sah, sedangkan syaratnya batal. Sedangkan Syafi’I berpendapat bahwa: akad dan persyaratannya itu, kedua-duanya batal, tanpa ada rincian apakah mereka sudah bercampur atau belum. (Lihat Al-Jazairiy, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhib Al-Arba’ah, jilid IV; Tadzkirat Al-‘Allamah, jilid II, dan Imam Al-Syahid Al-Tsani, Al-Masalik, jilid II).
Berasar hukum asalnya, ijab itu datangnya dari pengantin wanita, sedangkan qabul dari pengantin laki-laki. Pengantin wanita mengatakan, “saya nikahkan diriku kepadamu” lalu pengantin laki-laki menjawab “saya terima nikah denganmu”. Andai kata qabul didahulukan, di mana pengantin laki-laki mengatakan kepada wali, “nikahkan saya dengan dia” lalu wali berkata “saya nikahkan kamu dengannya”, timbul pertanyaaan apakah akad tersebut sah atau tidak?
Tiga mazhab lainnya mengatakan sah, sedangkan Hambali mengatakan tidak sah (Lihat Al-‘Allamah Al-Hilli, Tadzkirah, jilid II).
Kesimpulan:
Menurut hukum syara; akad nikah atau perkawinan adalah suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetebuhan dengan menggunakan lafazh “menikahkan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab qabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya. Dalam KHI pasal 1 sub C, dikatakan bahwa akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau oleh wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
Syarat Shighat ditinjau dari lafalnya terdiri dari; shighat akad berbentuk kata kerja (fi’il), makna lafalnya jelas, adanya persamaan antara ijab dan qabul, ketersambungan qabul setelah ijab, tidak meralat ijab setelah qabul, shighat akad nikah ringkas, shighat akad untuk selamanya.
Dalam akad nikah ada empat macam syarat, yaitu sebagai berikut:
- Syarat terjadinya akad
- Syarat sah
- Syarat pelaksanaan
- Syarat keharusan
Macam-macam akad nikah terdiri dari; akad nikah sah murni, akad nikah yang bergantung, akad nikah yang rusak, akad nikah bathil.
Dalam pelaksanaannya, banyak khilafiyah di kalangan para ulama mazhab. Sperti halnya dalam lafal yang tidak menggunakan bahasa Arab. Seluruh ulama madzhab sependapat bahwa akad dengnan menggunakan bahasa non-Arab adalah sah apabila yang bersangkuan tidak bisa melakukannya dalam bahasa Arab. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat apabaila ia mampu melakukannya. Hanafi, Maliki, dan Hambali menyatakan sah, sedangkan Syafi’I memandangnya tidak sah.
Footnote:
- Prof. DR. Amir Syarifuddin. HUKUM PERKAWINAN ISLAM di INDOESIA: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. ( Jakarta: Kencana, 2011) Hlm. 63
- Muhammad Jawad Mughniyah, penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-kaff. FIQIH LIMA MAZHAB: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali. (Jakarta. Penerbit Lentera: 2011). Hlm. 316
- Prof.Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, dkk. FIQH MUNAKAHAT: Khitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta: AMZAH, 2009). Hlm 60
- Muhammad Jawad Mughniyah, penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-kaff. FIQIH LIMA MAZHAB: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali. (Jakarta. Penerbit Lentera: 2011). Hlm. 309-311
- Prof.Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, dkk. FIQH MUNAKAHAT: Khitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta: AMZAH, 2009). Hlm 134
Sumber referensi:
- Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011. FIQIH LIMA MAZHAB. Jakarta, Penerbit Lentera.
- Azzam, Abdul Aziz Muhammad, dkk. 2011. Fiqih Munakahat. Jakarta, AMZAH.
- Syarifuddin, Amir. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta, KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.
- ------------. 2010. Mushaf At-Tasdiiq Tejemaah, Tajwid dan Tafsir Perkata, Jakarta: جبل روضة الجنة
- Prof.Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, dkk. FIQH MUNAKAHAT: Khitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta: AMZAH, 2009)
0 Response to "Apa itu akad nikah dan bagaimana lafal akad pernikahan?"
Post a Comment
Peraturan berkomentar:
1. Dilarang berkomentar dengan link aktif.
2. Dilang mempromosikan barang atau jasa.
3. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan.
4. No SARA.
Jangan lupa untuk membagikan artikel dalam blog ini kepada teman-teman. Terima kasih sudah berkunjung.