Hak dan kewajiban suami istri menurut syari'at islam (ayat dan hadits)
10/23/17
Add Comment
Hak dan kewajiban suami istri - Karena adanya akad atau ikatan perkawinan, maka akan muncul hak dan kewajiban. Sebab ikatan perkawinan, maka akibatnya adalah adanya hak dan kewajiban suami istri. Hak adalah sesuatu atau perbuatan yang didapat dari orang lain Sedangkan kewajiban adalah sesuatu atau perbuatan dari seseorang terhadap orang lainnya. Dalam berumah tangga, maka suami memiliki hak dan kewajibannya. Sebagaimana istri juga memiliki hak dan kewajiban pula. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Hak dan kewajiban suami istri sudah diatur didalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Akan tetapi kita sebagai umat islam, harus bisa menyelaraskan pasal-pasal yang ada di undang-undang dan KHI dengan ayat al-quran dan hadits. Untuk memahami penjelasan dibawa ini, sebaiknya kalian terlebih dahulu memahami isi pasal 31 sampai 34 undang-undang perkawinan.
Hak dan kewajiban suami istri menurut syari'at islam (ayat dan hadits)
Gambar hanya ilustrasi | Sumber gambar: Google.com
|
Hak dan kewajiban suami istri menurut islam
Berikut ini penyelarasan pasal yang terdapat di Undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 dengan ayat al-quran dan hadits Nabi Muhammad.
Pasal 31
Dalam pasal 31, suami adalah kepala keluarga. Ini selaras dengan potongan ayat surat an-nisa ayat 34, sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (Q.s An-Nisa:34)
Kemudian yang selaras dengan haditsnya sebagai berikut:
وعن بن عمر رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم؛ أَنَّهُ قَالَ : أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ. وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. فَاْلأَمِيْرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ. وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ، وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ. وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ. وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Dari Ibnu Umar r.a, dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam bahwa beliau bersabda: “Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang penguasa yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [Imam Nawawi, Riyadhus Shalilh, Cet ke-7, (Bandung: Jabal, 2015), hlm.123]
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ...
“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.s al-Baqarah:228)
Maksud dari kalimat digaris bawah adalah hal tersebut disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangganya.
Pasal 32
Pasal 32 menjelaskan, suami-istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap, tempat kediaman tersebut ditentukan oleh suami-istri. Pada potongan ayat didalam surat at-Thalaq [65]:6
...أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…” (Q.s At-Thalaq:6)
Pasal 33
Kemudian didalam pasal 33, dijelaskan bawha suami istri saling memberi bantuan lahir dan bathin dan suami istri harus saling mencintai. Berikut ini terdapat hadits yang menjelaskan bahwa sesama muslim harus saling cinta-mencintai. Sesama muslim saja harus saling mencintai, apalagi seorang suami dan seorang istri? Berikut ini haditsnya:
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri”.[Bukhari no. 13, Muslim no. 45]
Dalam surat ar-ruum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Dalam pasal tersebut terdapat keterangan memberi bantuan lahir dan bathin, keterangan tersebut dapat kita maknainya sebagai berikut:
- Memberikan pendidikan kepada suami/istri.
- Memberikan teguran, nasihat dan solusi jika suami/istri bersalah.
- Memberikan kebutuhan seksual.
Dalam perihal kebutuhan seksual, Rasulullah bersabda:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت أن تجيء فبات غضبان لعنتها الملائكة حتى تصبح أي وترجع عن العصيان"
Dari Abu Hurairah radliyallah ‘anhu, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidurnya kemudian ia menolak untuk datang lalu laki-laki itu tidur semalam dalam keadaan marah kepadanya, maka ia dilaknat oleh malaikat hingga subuh.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). [Imam al-Mundziri, Ringkasan Shahih Bukhari Muslim, Cet ke-2, (Bandung: Jabal, 2013), hlm.318]
Dari hadits diatas, perlu dipahami bahwa penolakan istri terhadap suami yang mengajak behubungan dibolehkan jika memiliki alasan sesuai syari’at. Misalnya seperti haidh, nifas, puasa ramadhan, iktikaf dan sejenisnya.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (Q.s Al-baqarah:223)
Pasal 34
Selanjutnya pada pasal 34, didalam al-qur’an dan juga hadits serupa menjelaskan hal semacam itu. Seperti ayat dan hadits berikut ini:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya...” (Q.s al – Baqarah:233)
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Q.s at – Thalaq : 7)
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ ۚ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”” (Q.s Saba’:39)
Jika suami memliki istri lebih darisatu, ini diatur oleh pasal 82 KHI.
Suami diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu, ayat dan haditsnya seperti berikut ini:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s An-Nisa:129)
Berlaku adil adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum ayat diatas turun, poligami sudah terjadi, dan pernah juga dilakukan oleh Nabi Muhammad. Batasan seorang suami memliki istri adalah empat istri saja. [Mardani, Hukum keluarga Islam, cet ke-1, (Jakarta: PRENADAMEDA GROUP, 2016), hlm.119]
Pasal 82 KHI
Jika suami memliki istri lebih darisatu, ini diatur oleh pasal 82 KHI.
Suami diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu, ayat dan haditsnya seperti berikut ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.s An-Nisa:3)
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s An-Nisa:129)
Berlaku adil adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum ayat diatas turun, poligami sudah terjadi, dan pernah juga dilakukan oleh Nabi Muhammad. Batasan seorang suami memliki istri adalah empat istri saja. [Mardani, Hukum keluarga Islam, cet ke-1, (Jakarta: PRENADAMEDA GROUP, 2016), hlm.119]
Kesimpulannya adalah ayat dan hadits tidak bertentangan dengan pasal yang terdapat didalam undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum islam. Artinya, hukum islam dapat mengikuti perkembangan zaman hingga hari kiamat. Ayat al-quran dan hadits Rasulullah tidak akan pernah salah.
0 Response to "Hak dan kewajiban suami istri menurut syari'at islam (ayat dan hadits)"
Post a Comment
Peraturan berkomentar:
1. Dilarang berkomentar dengan link aktif.
2. Dilang mempromosikan barang atau jasa.
3. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan.
4. No SARA.
Jangan lupa untuk membagikan artikel dalam blog ini kepada teman-teman. Terima kasih sudah berkunjung.