-->

Pembaharuan Hukum Keluarga Islam : Metode Kontemporer

Pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum Islam kontemporer ada lima (5), yakni: (1) takhayyur, (2) talfiq, (3) takhshîsh al-qadlâ, (4) siyâsah syar‘îyah, dan (5) reinterpretasi nash. Namun para ilmuwan yang meneliti tentang ini menggunakan istilah yang dalam hal-hal tertentu berbeda. Misalnya ada ilmuwan/peneliti yang menggunakan istilah metode prosedur administrasi untuk menyebut takhshâsh alqadlâ dan/atau siyâsah syar‘îyah.  

Terdapat pula ilmuwan yang menyebut ijtihad, yang oleh ilmuwan lain menyebut reinterpretasi (penafsiran ulang). Demikian juga para ilmuwan berbeda pendapat dalam mengelompokkannya. Ada ilmuwan yang memisahkan antara takhayyur dan talfiq, namun ada juga yang menyatukan.

Tahir Mahmood yang melakukan studi terhadap sejumlah perundang- undangan hukum keluarga Islam kontemporer,1 dalam bukunya, Family Law Reform, menulis empat (4) metode yang digunakan sejumlah negara dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer, yakni: 
  1. takhayyur, 
  2. talfiq, 
  3. siyâsah syar‘îyah, dan 
  4. ijtihad. 

Takhayyur menurut Tahir Mahmood, muncul dalam tiga (3) bentuk. 
  • Pertama, memilih salah satu dari pendapat imam mazhab. 
  • Kedua, menetapkan satu dari putusan pengadilan (hakim/qadi). 
  • Ketiga, memilih salah satu dari pendapat ilmuwan di luar imam mazhab. [1]
Sementara dalam buku Personal law, karya Tahir Mahmood, menyebut metode yang digunakan dalam pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, teori lama, yakni: ijmâ‘, qiyas, dan ijtihad, baik ijtihad individu maupun kolektif. Kedua, teori baru, yakni: takhayyur dan talfiq. Kemudian disebutkan pula bahwa dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer, negara-negara muslim meletakkan secara setara pandangan imam fikih mazhab, menggunakan istihsan, mashlahah mursalah, siyâsah syar‘îyah, istidlal (rasio ahli hukum), tawdî‘ (legislasi), dan tadwîn (kodiifikasi).  [2]Pengelompokan yang secara substansial sama dengan pengelompokan lama dan baru tersebut di atas adalah:
  1. intra-doctrinal reform dan
  2. extra-doctrinal reform 

Adapun intra-doctrinal reform adalah pembaruan dengan cara tetap merujuk pada konsep fikih konvensional, dengan cara (1) takhayyur dan (2) talfiq. Sementara extradoctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi merujuk pada nash al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW dengan melakukan penafsiran ulang terhadap nash (reinterpretasi). 

Metode Kontemporer Dalam Pembaharuan Hukum Keluarga Islam

Metode Kontemporer
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam : Metode Kontemporer

Perbedaan antara kedua pengelompokan tersebut di atas, bahwa maksud teori lama pada pengelompokan pertama adalah teori ushul al-fiqh tersebut telah ada sejak dahulu dan menjadi pegangan umum (konvensi). Sementara teori baru tersebut adalah, munculnya baru belakangan. Adapun maksud teori lama pada kelompok kedua, bahwa isi (content) dari konsep tersebut telah ada dan menjadi pegangan umum (konvensi). Kemudian konsep konvensional ini dipilih salah satu atau digabungkan dari beberapa toeri. Sementara maksud teori baru, bahwa isinya memang baru, sebab konsep tersebut merupakan hasil penafsiran ulang terhadap nash.

a. Takhayyur 

Takhayyur adalah memilih pandangan salah satu ulama fikih, termasuk ulama di luar mazhab, seperti pandangan Ibnu Taimîyah, Ibnu Qayyim al-Jauzîyah, dan lainnya. Takhayyur secara substansial dapat pula disebut tarjih. Sebab dengan memilih pandangan yang berbeda yang didasarkan pada pandangan yang lebih kuat atau pandangan yang lebih sesuai dan dibutuhkan, ternyata ada juga peneliti yang menyebut takhayyur dengan sebutan tarjih. Artinya, dasar memilih salah satu di antara pendapat adalah pendapat yang lebih lebih kuta (râjih). [3]
Salah satu contoh yang dicatat adalah Mesir dalam Kodifikasi Qadrî Pasya (the Code of Qadrî Pasya) yang menggunakan konsep Hanafîyah dalam rumusannya, padahal Mesir adalah pengikut mazhab al-Syâfi‘î. Pandangan yang dipilih juga menyebar, bukan hanya pandangan imam mazhab, tetapi juga pandangan ilmuwan yang bukan imam mazhab. Misalnya pandangan Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. [4]

b. Talfiq

Talfiq adalah mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih) dalam menetapkan hukum satu masalah. Di antara contoh penerapan metode talfiq adalah dalam the Egyptional Law of Testamentary Disposition 1946, pasal 6, bahwa tidak ada hak waris antara muslim dan non-muslim, tetapi antara non-muslim mungkin mewarisi antara mereka. Perbedaan domisili tidak menjadi penghalang untuk mewarisi antaa sesame muslim; demikian juga tidak ada halangan untuk mewarisi antara sesama non-muslim, kecuali hukum negara lain melarang mewarisi antar warga negara. Isi pasal ini merupakan kombinasi dari pandangan sunni bahwa ada larangan mewarisi antara muslim dan non-muslim dan pendapat sebagai ahli hukum yang tidak sependapat bahwa perbedaan agama menjadi penghalang mewarisi; dan pandangan sunni bahwa antara sesama muslim ada hak mewarisi apapun domisilinya. [5]

c. Takhshîsh al-Qadla

Takhshîsh al-qadlâ adalah hak Negara membatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yurisdiksi, dan hukum acara yang diterapkan.[6] Negara dapat mengambil kebijaksanaan dan prosedural untuk membatasi peradilan agar tidak menerapkan ketentuan hukum keluarga dalam situasi tertentu, tanpa bermaksud mengubah substansi hukum Islam tersebut dan bertujuan untuk kemaslahatan umat.

Salah satu contoh yang dicatat Anderson adalah UU Peradilan Mesir (the Egyptian Code of Organization and Procedural for Syari‘ah Courts, 1897), pasal 31, bahwa hak-hak yang berkaitan dengan akibat perkawinan dan perceraian hanya diproses kalau perkawinan dan perceraian dilengkapi dengan bukti. Ini berarti pemerintah membatasi perkara yang boleh diproses pengadilan, yakni hanya perkawinan dan perceraian yang sudah dilengkapi dengan bukti. [7]

d. Siyâsah Syar‘îyah

Siyâsah syar‘îyah adalah kebijakan penguasa (ruler/uli al-amr) menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari‘ah. Namun ada juga peneliti yang menyebut takhshîsh al-qadlâ atau siyâsah syar‘îyah dengan penetepan menggunakan administrasi. Sebab penetapan penguasa dan pembatasan kewenangan peradilan umumnya terjadi dalam administrasi.  Hak penguasa (ruler/uli al-amr) membatasi menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari ‘ah ini (takhshîsh al-qadlâ dan siyâsah syar‘îyah) sejalan dengan apa yang telah dirumuskan ulama ushul al-fiqh dalam qaidah fiqhiyah.

Penerapan siyâsah syar‘îyah dapat dilihat contoh dalam kasus pemberlakuan wasiyat wajibah bagi seorang cucu yang bapaknya meninggal lebih dahulu dari kakek. Bahwa cucu tersebut mendapat bagian sesuai dengan bagian ayah andaikan masih hidup (anak dari perwaris). Aturan ini telah ditetapkan dalam perundang-undangan sejumlah negara. Di antaranya adalah di Mesir, Syria, Maroko dan Tunisia. [8]

e. Reinterpretasi Nash

Sedangkan maksud reinterpretasi nash (penafsiran ulang terhadap nash) adalah melakukan penafsiran atau pemahaman ulang terhadap nash (al- Qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW.). Adapun dasar pertimbangan yang digunakan dalam menggunakan metode-metode tersebut di atas ada minimal dua (2), yakni: 
  1. mashlahah mursalah, dan 
  2. konsep yang lebih sejalan dengan tuntutan dan perubahan zaman.

Sementara dasar dalam melakukan reinterpretasi nash muncul dalam empat bentuk. Pertama, ada negara yang menggunakan pendekatan tematik dan integratif, meskipun penggunaannya belum konsisten dan belum sistematis terhadap semua masalah. Kedua, ada negara yang menggunakan dasar analogi (qiyas). Ketiga, ada negara yang mendasarkan pada mashlahah, khususnya mashlahah mursalah. Keempat, ada negara yang mendasarkan pada pemahaman secara kontekstual (tafsir kontekstual). 

Namun dalam penggunaannya tidak selalu konsisten antara satu negara dengan negara lain. Artinya, dalam penetapan status hukum satu masalah yang sama dapat didasarkan pada metode yang berbeda. Misalnya, dalam penetapan hukum umur minimal boleh kawin, beberapa Negara menetapkan berdasarkan metode yang berbeda. Ada negara yang menetapkan berdasarkan siyasah syar‘iyah, namun ada pula negara yang mendasarkan pada reinterpretasi nash. Bahkan ada negara yang menggunakan metode gabungan.

Pengertian qiyas adalah mencari kesamaan ‘illat hukum antara kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nash dengan kasus baru yang ketetapan hukumnya belum ada. Sedangkan mashlahah mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan dan untuk kepentingan orang banyak, dan ketetapan hukum tersebut tidak bertentangan dengan syari‘ah.

Contoh penerapan reinterpretasi di antaranya adalah larangan atau aturan mempersempit kemungkinan poligami oleh sejumlah negara, seperti Tunisia, Mesir, Indonesia dan negara-negara lainnya. Contoh lain adalah sejumlah aturan dalam perundang-undangan Yaman dan Somalia yang tujuannya untuk mengangkat status wanita. Di antara aturan-aturan tersebut tidak ditemukan dalam konsep konvensional. Aturan yang dibuat adalah kesetaraan antara laki-laki (suami) dan perempuan (isteri) dalam  menanggulangi biaya perkawinan; biaya walimahan, biaya hidup. Demikian juga hadanah anak untuk dan berdasarkan kepentingan anak. Demikian juga hak waris yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam perundang-undangan Somalia.

Penyusun artikel : Ahmad Reza Asy'ari

[1] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1972), hlm. 12
[2] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries dalam History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 13
[3] Dawoud El Alami & Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World.London, (the Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996), hlm. 36
[4] Anderson & Norman, Law Reform in the Muslim World. Cambridge: The Athlone Press University of London, 1976, hlm. 43
[5] Anderson & Norman, Law Reform in the Muslim World, hlm. 56-57
[6] Anderson, J.N.D. “Modern Trends in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, dalam International and Comparative Law Quarterly, Vol. 20, 1971, hlm. 12-13
[7] Anderson & Norman, Law Reform in the Muslim World, hlm. 43
[8] Anderson & Norman, Law Reform in the Muslim World, hlm. 69
Load comments

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel