-->

Pembaharuan Hukum Keluarga Islam : Metode Konvensional

Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‘î (150-204/767-819), pendiri mazhab al-Syâfi‘ diyakini sebagai pendiri fondasi metode studi hukum Islam (ushûl al-fiqh). Sehingga karyanya ‘al-Risâlah’ diyakini sebagai kitab paling awal di bidang ushûl al-fiqh. Namun demikian, meskipun tidak sesistematis yang dirumuskan al-Syâfi‘î, ulama-ulama lain juga menulis teori ushûl fiqh, yang dalam banyak hal berbeda dengan teori imam al- Syâfi‘î. 

Sejumlah teori di bidang ilmu yang sama lahir meskipun cukup lama setelah para imam mazhab wafat, misalnya Kitâb al-Mu‘tamad fî Ushûl al-Fiqh oleh al-Bashrî, seorang ulama mu‘tazilî, al-Burhân oleh guru al-Ghazâlî, al-Juwainî, al-Mankhûl, Shifâ al- Ghalîl, dan al-Mustasyfâ oleh Abû Hamîd al-Ghazâlî, keduanya dari mazhab al-Syâfi‘î, Ushûl al-Sarakhsî oleh Syams al-Dîn al- Sarakhsî dari mazhab Hanafî, dan lain-lain. Demikian seterusnya ilmu ini berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan tuntutan zaman. Walhasil lahirlah pengelompokan dan karakteristik teori satu masa dengan masa lain.

Kemudian para ahli menetapkan, ada beberapa ciri khas atau karakteristik metode penetapan hukum Islam (fiqh) yang popular dengan sebutan ‘ushûl al-fiqh’ dan fiqh klasikdan pertengahan, yang kemudian dalam seluruh tulisan ini disebut fiqh konvensional. 

Maksud konvensional adalah konsep yang sudah menjadi pegangan umum. Konsep ini menjadi pegangan umum, sebab konsep inilah yang dikenal dan diperkenalkan mulai dari dahulu sampai sekarang, mulai dari guru di madrasah Imtidaiyah sampai perguruan tinggi, mulai dari pendidikan formal sampai pendidikan non-formal.

Sedangkan maksud dari metode kontemporer adalah metode yang digunakan dalam merumuskan hukum keluarga Islam yang lahir dalam bentuk kodifikasi; undang-undang, kompilasi, dekrit raja, ketetapan hakim, dan sejenisnya, yang dimulai oleh Turki tahun 1917, dan Mesir tahun 1920. Di antara karakteristik konsep konvensional ada yang dijadikan sebagai kelemahan oleh sebagian pemikir.

Di antara karakteristik teori ‘ushûl al-fiqh’ konvensional adalah menggunakan pendekatan parsial atau atomistik atau juz’î. Karena itu, boleh jadi sebagai respon terhadap teori konvensional ini, muncullah sejumlah teori yang diharapkan sebagai tawaran atau alternatif atau perbaikan untuk menutupi kelemahan dan kekurangan teori konvensional tersebut. Demikianlah teori bermunculan dari masa ke masa, mulai dari masa klasik, pertengahan, modern, posmodern dan seterusnya, baik yang menamakan teorinya secara tekstual dengan teori ‘ushûl al-fiqh’ maupun yang tidak tetapi secara substansial membahas masalah yang sama. Diharapkan teori-teori tersebut secara keseluruhan saling melengkapi dan menutupi kekurangan satu teori dengan teori lain. Pada gilirannya diharapkan lahir teori yang lebih akomodatif dalam menuntaskan masalah-masalah yang muncul dari waktu ke waktu, dan sejalan dengan tujuan pembaruan yang dibawa nabi Muhammad SAW dengan risalahnya. Tulisan ini merupakan ungkapan singkat dari teori ‘ushûl al-fiqh’ yang dikembangkan para ahli, khususnya dua konsep, yakni: 
  1. konsep konvensional dan 
  2. konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk kodifikasi.
Dalam artikel ini, yang akan dibahas hanyalah Metode Konvensionalnya terlebih dahulu. Untuk pembahasan metode kontemporer akan dibahas pada artikel selanjutnya.

Apa itu Metode Konvensional?

Metode Konvensional
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam : Metode Konvensional

Metode konvensional bisa diartikan sebagai metode pembaharuan hukum keluarga tradisional yang terekam dalam berbagai literatur kitab fikih klasik. Sedangkan jika mengikuti pengertian yang pertama, hukum keluarga konvensional bisa diartikan sebagai hukum keluarga yang sudah menjadi pegangan umum. Menjadi pegangan umum karena hukum inilah yang digunakan sejak dahulu bahkan hingga sekarang. Adapun kebalikan konvensional adalah kontemporer.

Bahwa hukum keluarga konvensional yang terpahat dalam fikih klasik bersifat historis dapat ditelusuri dari isi atau muatan yang terdapat dalam berbagai literatur yang ada. Muatan hukum keluarga yang terkandung dalam berbagai litaratur fikih klasik mengisyaratkan adanya pengaruh yang luar biasa dari ideologi patriarkhi. Ideologi patriarkhi memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.[1]

Bias ideologi patriarkhi dalam proses dialektika tersebut sangat kentara sekali, utamanya ketika menyangkut pola relasional suami isteri. Kebanyakan produk pemikiran hukum yang tertulis cenderung menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua setelah laki-laki.

Adapun contoh produk pemikiran hukum keluarga dalam fikih klasik yang dianggap mengsubordinasi perempuan adalah adanya ketentuan bahwa perempuan (baca: isteri) harus taat pada suami dalam kondisi apapun, atau perempuan dilarang keluar rumah tanpa izin suaminya. Bahkan, mayoritas ahli fikih berpendapat jika isteri tidak boleh melaksanakan puasa sunnah tanpa izin suaminya.[2]

Tidak jarang, untuk melegitimasi pendapat-pendapat itu, ahli fikih menggunakan argumentasi normatif-teologis dari hadis Nabi. Hadis-hadis yang berpretensi memarginalkan perempuan biasanya disebut hadis misoginis.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan jika potret hukum keluarga Islam konvensional cenderung menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior, sedang laki-laki ditempatkan dalam kondisi superior. Kenyataan inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa hukum keluarga Islam perlu diperbarui

Dalam kitab konvensional secara umum terlihat jelas masing-masing mujtahid (fâqih) mendukung pandangannya dengan mencatat ayat Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad saw. Dalam kasus-kasus tertentu ditambah dengan athar sahabat. Ada ayat dan sunnah nabi yang sama-sama dicatat untuk mendukung pandangan yang sama, sebaliknya ada juga ayat dan sunnah Nabi yang sama-sama dicatat untuk mendukung pandangan yang berbeda, bahkan bertentangan. Ada ayat Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad saw yang dicatat dengan tegas secara tekstual (ekplisit) mendukung pandangannya, sementara ada juga ayat dan sunnah nabi yang dicatat hanya mendukung secara implisit (mafhûm mukhâlafah). Dengan ungkapan lain, setiap mujtahid mempunyai kesempatan dan kapasitas yang sama dalam mendukung pandangannya hanya dengan mencatat salah satu atau beberapa ayat Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad saw, meskipun dalam beberapa kasus ayat dan sunnah nabi yang dicatat tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ayat atau sunnah nabi yang lain. Kajian semacam ini dalam kajian tafsir disebut kajian tafsir juz‘î (parsial atau atomistik).

Ciri Khas dan Karakteristik Fiqih Konvensional Serta Kelemahannya

Dalam salah satu tulisannya, Fazlur Rahman menulis tiga ciri khas atau karakteristik, dan sekaligus kelemahan fiqh konvensional, yaitu:

a). Atomistis atau Parsial (Atomistic Approach atau Juz’î

Atomistis/parsial yakni dalam menyelesaikan satu masalah tertentu para ahli hukum Islam (fuqahâ’) menuntaskannya dengan cara memahami beberapa atau salah satu nash al-Qur’an dan atau sunnah Nabi Muhammad SAW. secara berdiri sendiri, tanpa menghubungkannya dengan nash lain yang relevan. Sedang dalam tafsir, metode atomistik, yang juga disebut oleh pemikir lain dengan metode (tafsir) tahlîlî, atau parsial atau ijmâlî atau juz’î, adalah metode kajian al-Qur’an dengan menganalisis secara kronologis ayat-ayat al-Qur’an dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mushaf ‘Uthmânî, yakni dimulai dari al-Fatihah dan diakhiri dengan al-Nass.[3]

Dalam beberapa kasus para ulama konvensional menggunakan metode tematik, tetapi penggunaannya tidak dengan sistematis dan konsisten. Sekedar contoh, ketika membahas asas perkawinan dalam Islam: poligami atau monogami, para imam mazhab empat: Hanafîyah, Mâlikîyah, al- Syâfi‘îyah dan Hanbalîyah mendasarkan argumennya pada al-Nisâ’ (4):3. Hanya imam al-Syâfi‘î yang menghubungkan al- Nisâ’ (4): 3 dengan al-Nisâ’ (4): 129 dalam pembahasannya, dan sama sekali tidak ada yang menghubungkannya dengan al-Nisâ’ (4): 2 dan 127-128. Imam al-Syâfi‘î sendiri tidak menggunakan metode ini secara konsisten dan metodologis ketika membahas masalah-masalah lain dalam kitabnya ‘Al-Umm’. Demikianlah secara umum model kajian yang digunakan para imam mazhab dan pemikir-pemikir lain. Model ini pula yang umum digunakan dalam kajian-kajian tafsir oleh para ahli tafsir (mufassirûn). Padahal penggalian hukum dari nash dilakukan lewat dua ilmu ini. Walhasil rumusan hukum Islam konvensional pada umumnya adalah hasil kajian dengan model parsial, atomistik, juz‘î, dan tahlili.

Di antara kontroversi akibat penggunaan pendekatan, model kajian parsial yang paling menonjol adalah adanya kesan ditemukan kontroversi (pertentangan) atau minimal ketidaksejalanan atau ketidakserasian antara nash. Quraish Shihab adalah ilmuan lain yang memandang negative terhadap metode kajian al-Qur’an tahlîlî. Sejalan dengan Rahman, Quraish berpendapat, satu akibat dari pemahaman al-Qur’an berdasar ayat demi ayat secara terpisah adalah al-Qur’an terlihat seolah sebagai petunjuk yang terpisah-pisah.[4]

Demikian juga Amina Wadud berpandangan, bahwa penggunaan metode parsial mengakibatkan posisi wanita termarginalisasi, yang semestinya Islam memberikan posisi sejajar antara laki-laki dan perempuan untuk berperan dan dijamin hak-haknya.[5]

Pandangan yang sama dengan Wadud, dengan sedikit modifikasi dibuktikan oleh Mohammed Fadel, bahwa kajian nash dengan metode atomistic memungkinkan pengkaji memasukkan paham patriarki yang mengakibatkan munculnya misogini. Sebab dengan metode atomistik tersebut pengkaji menekankan pemahaman pada teks.[6] Kesimpulan Amina Wadud dan Fadel ini diamini dan diperkuat oleh hasil penelitian Nasaruddin Umar, yang meneliti sebab-sebab termarginalisasinya wanita, bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah seringnya penggunaan metode studi al-Qur’an parsial tersebut. [7]

Pada prinsipnya metode ini juga yang disebut oleh Ashgar dengan metode selektif, atau oleh pemikir lain dengan apologetik. Maksudnya adalah dalam melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap nash, para penafsir melakukannya dengan cara memilih-milih nash tertentu untuk mendukung pandangan yang ingin dibangun. Senada dengan itu, disebutkan pula bahwa kajian atomistik dinilai cenderung bersifat “linear-atomistik” yang mengkaji a1-Qur’an bukan sebagai satu kesatuan tematik, sehingga hasilnya bukan merupakan pandangan-dunia (weltanchauung) al-Qur’an yang utuh.[8] Fazlur Rahman menganggap kajian atomistik memberikan akibat fatal dalam penafsiran, karena hukum-hukum seringkali diambil dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum. [9]

Hassan Hanafi telah mencatat tujuh kekurangan model kajian (penafsiran) al-Qur’an secara atomistik. Pertama, melakukan pengupasan tema yang sama di berbagai tempat (surah). Kedua, mengulang tema yang sama berkali-kali tanpa mengakumulasi makna untuk membangun konsep menyatu mengenai persoalan tertentu. Ketiga, tidak memiliki struktur tematik. Keempat, Tidak ada ideologi yang koheren yang mengaitkan berbagai aspek tematik secara utuh dan menyatu. Kelima, berjilid jilid penafsiran model ini berat untuk dibaca, berharga mahal, sulit laku, dan berat untuk dibawa. Keenam, mengaburkan antara informasi dan pengetahuan. Ketujuh, informasi yang diberikan jauh dari yang diperlukan masyarakat. [10]

b). Fiqh Konvensional Kurang Memberikan Perhatian Terhadap Sejarah (ahistory)

Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pembahasan yang ada dalam kitab-kitab fiqh konvensional kurang memperhatikan unsur sejarah. Salah satu contohnya yang sama dengam contoh ketika membuktikan ciri khas parsial, yakni dalam masalah pembahasan poligami. Ketika membahas poligami, dasar yang digunakan fuqahâ konvensional adalah al-Nisâ’ (4): 3. Sebagai pengecualian, al-Syâfi‘î memasukkan an- Nisâ’ (4): 129. Namun tidak satu pun di antara empat fuqaha tersebut yang menulis sejarah dan kondisi sosial masyarakat Muslim yang hidup ketika masa pewahyuan. Bahkan tidak satu pun di antaranya yang menggambarkan sebab turunnya ayat tersebut (asbâb al-nuzûl).

c). Fiqh Konvensional Terlalu Menekankan Pada Kajian Teks (literalistis

Kita dengan mudah dapat membuktika bahwa bahasan-bahasan kitab ushûl fiqh sebagai metode fiqh umumnya menekankan pembahasan pada masalah kebahasaaan, seperti pembahasan ‘amm dan khâss, mutlaq dan muqayyad, qat‘i dan dhannî, muhkam dan mutashâbih, amr dan nahi, dan semacamnya. Akibatnya yang paling dirasakan dari kajian yang terlalu ahistoris dan terlalu literalistis adalah sering kehilangan konteks nash, dan seolah nash demikian gersang. 

Kelemahan lain dari fiqh konvensional, yang boleh jadi di dalamnya masuk juga fiqh modern, adalah kajian yang terlalu menekankan dan berdasar pada ilmu agama murni, sama sekali tidak mempertimbangkan atau menggunakan konsep-konsep atau teori-teori ilmu-ilmu lain, seperti teori yang lahir dari ilmu sosiologi, antropologi, sejarah dan sejenisnya. [11]

Ciri lain yang tidak kalah pentingnya, bahkan barangkali masih berlaku sampai sekarang adalah bahwa metodologi fiqh seolah terpisah dari metodologi tafsir. Karena itu, ada metodologi fiqh yang lebih terkenal dengan ‘usul al-fiqh’ atau boleh juga masuk di dalamnya ‘qawaid al-fiqhiyah’ di satu sisi, dan ada metodologi tafsir yang lebih terkenal dengan ‘ilmu tafsir’ (‘ulûm altafsîr) di sisi lain. Padahal kalau diteliti dengan cermat kedua ilmu ini mestinya harus menjadi satu kesatuan yang utuh, sebab pokok bahasan keduanya pada prinsipnya adalah cara memahami apa yang ada dalam nash sebagai sumber ajaran Islam (hukum Islam untuk fiqh), meskipun usul al-fiqh lebih menekankan pada aspek hukum, sementara tafsir mencakup seluruh aspek yang ada dalam al-Qur’an. Sejalan dengan ini, ‘hadis’ dengan ‘ilmu hadis’ seolah berpisah dan berdiri sendiri dari ‘ilmu fiqh’ dan ‘usul al-fiqh’.

Masih ciri khas lain dari fiqh konvensional adalah terlalu banyak dipengaruhi budaya-budaya dan tradisitradisi setempat, dan dalam beberapa kasus di dalamnya meresap praktek-praktek bid‘ah dan khurafat, khususnya yang berkaitan dengan fiqh ‘ibadah.

Dalam beberapa kasus, meresapnya budaya-budaya atau tradisi-tradisi tertentu tersebut dapat ditolerir sebagai salah satu usaha adaptasi ajaran Islam terhadap budaya setempat, tetapi dalam banyak kasus lain masuk dan meresapnya budaya atau tradisi-tradisi masyarakat tertentu terhadap ajaran Islam tersebut malah justru menghilangkan nilai ajaran Islam itu sendiri, yang karenanya tidak dapat ditolerir. Alasannya adalah karena budaya yang meresap malah menghilangkan substansi ajaran agama. Lebih berbahaya lagi kalau unsur-unsur budaya tersebut malah diyakini sebagai ajaran agama. Akibatnya, konsep fiqh yang semula hanya adaptasi terhadap budaya masyarakat tertentu malah diyakini sebagai nash mutlak yang harus diyakni dan dipatuhi. Contoh yang dapat dicatat dalam kaitan ini, khususnya dalam urusan keluarga adalah hubungan dan hak serta kewajiban antara suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga, bahwa isteri misalnya harus meladeni suami. 

Ciri lain dari fiqh tradisional adalah masuknya unsur politik di dalamnya, atau setidaknya teori-teori fiqh sangat banyak dipengaruhi kepentingan penguasa, khususnya masalah-masalah politik yang berhubungan dengan konsep atau teori-teori kenegaraan (fiqh al-siyâsah). Akibatnya, konsep-konsep politik Muslim lebih menekankan pada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat. Teori-teori politik Muslim umumnya berdasar dan digali untuk kepentingan penguasa yang memegang dan mengendalikan negara dan kekuasaan daripada penggalian nilai murni dari sumber ajaran Islam. 

Karena itu, tidak mengherankan kalau label agama digunakan penguasa lewat peran ulama untuk melanggengkan tahta dan kekuasaan. Misalnya teori politik yang menyatakan bahwa warga negara tetap wajib loyal kepada kepala negara dan pemerintahan meskipun para penguasa melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran agama (ma‘siyat), sepanjang sang penguasa tidak menyuruh warga negaranya berbuat ma‘siyat. Bahkan, warga negara bukan saja harus patuh dan loyal kepada kepala negara yang ma‘siyat, tetapi lebih dari itu warga negara dilarang melakukan koreksi, protes (demonstrasi) atau memberikan perlawanan. Padahal konsep ini jelas-jelas berlawanan dengan prinsip amr ma‘rûf dan nahi munkar yang ditekankan al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

Bahkan menurut Nasr Abû Zaid, pengaruh kepentingan penguasan ini bukan saja berhubungan dengan teoriteori politik Muslim, tetapi juga pada bidang-bidang lain, dan teori-teori fiqh imam al-Shâfi‘î diklaim banyak dipengaruhi kepentingan penguasa. Apa yang dikemukakan Nasr Abû Zaid dapat dibuktikan dengan fakta sejarah bahwa umumnya teori-teori yang berkembang dan sampai kepada kita hampir di seluruh bidang keilmuan adalah toeri-teori dari para ilmuwan yang dekat dengan penguasa.[12]

Sementara teori-teori yang dikembangkan para ilmuwan yang melawan arus kekuasaan ternyata sulit ditemukan sumbernya. Kondisi ini tentu saja sangat disayangkan dan memprihatinkan.

Pembahasan selanjutnya adalah "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam : Metode Kontemporer"

Penyusun artikel : Ahmad Reza Asy'ari

[1] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, cet. ke-2, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 135
[2] Masykuri Abdillah dan Mun’im A. Sirry, “Hukum yang Memihak Kepentingan Laki-laki: Perempuan dalam Kitab Fikih” dalam Ali Munhanif (ed.), Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, cet. ke-1, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 119
[3] Nasaruddin Umar, Metode Penelitian Berperspektif Jender tentang Literatur Islam, dalam al-Jami‘ah Journal of Islamic Studies, No. 64/xii/1999. Lihat Juga, Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, cet. ke-2. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 13)
[4] Quraish Shihab M., Wawasan al- Quran:Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996), hlm.112
[5] Amina Wadud, Qur’an and Woman, (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti, 1992), hlm. 1-2)
[6] Mohammed Fadel,1997. “Two Women, one Man: Knowledge, Power, and Gender in Medieval Sunni Legal Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 29 (1997), hlm. 186
[7] Nasaruddin Umar, Metode Penelitian Berperspektif Jender tentang Literatur Islam, dalam al-Jami‘ah Journal of Islamic Studies, hlm. 192-199
[8] Mustansir Mir, Coherence in the Qur’an: A Study of Islahi’s Concepts of Nazm in Tadabbur-i-Qur’an, (Plainfield: American Trust Publication, 1996), hlm. 1-24
[9] Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan Pierre Cachia, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), hlm. 3
[10] Hassan Hanafi, “Method of Thematic Interpretation of the Qur’an” dalam Stefan Wild (ed.), The Qur’an as Text, Leiden, (New York: E.J. Brill, 1996), hlm. 196
[11] Fatima Mernissi, “The Veil and the Male Elite” dalam A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam, (Addison: Wesley Publishing Company, 1991), hlm. 128
[12] Nasr Hamid Abu-Zayd, Imam Syafi‘î: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliiyyin, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm 7

Load comments

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel