Kritik Hadis Cara Mengatasi Istri Nusyuz
3/4/18
Keluarga sebagai sebuah organisasi yang memiliki setidaknya dua anggota di dalamnya, pasti mengalami permasalahan. Semakin banyak anggota sebuah keluarga, maka semakin besar pula potensi terjadinya konflik. Penyebab terjadinya konflik terkadang bisa karena perbedaan kepentingan atau cara pandang suatu persoalan dalam keluarga. Permasalahan-permasalahan dalam keluarga bisa dimunculkan oleh seluruh anggota keluarga, baik suami, istri maupun anak. Salah satu permasalahan dalam keluarga yang dimunculkan oleh suami maupun istri adalah nusyuz.
Nusyuz bisa terjadi disebabkan oleh berbagai alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasanganya, hak-haknya yang tidak terpenuhi, atau adanya tuntutan yang berlebihan dari satu pihak terhadap pihak yang lain. Bisa juga terjadi karena adanya kesalahan suami dalam menggauli istrinya atau sebaliknya kesalahan istri dalam memahami keinginan dan hasrat suami.
Islam telah mengatur tatacara penyelesaian nusyuz ini, baik tercantum dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Mengingat begitu pentingnya permasalah nusyuz ini, maka pada kesempatan ini penulis akan memaparkan tatacara penyelesaian Nusyuz dalam perspektif Al-Hadits dengan mengambil hadits riwayat Imam At-Tirmidzi No. 1083 sebagai rujukan utama.
Hadits No. 1083 Tentang Tata Cara Penyelesaian Nusyuz
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ شَبِيبِ بْنِ غَرْقَدَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ
حَدَّثَنِي أَبِي
أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
قَالَ أَبُو عِيسَى مَعْنَى قَوْلِهِ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ يَعْنِي أَسْرَى فِي أَيْدِيكُمْ
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ali Al-Khallal, telah menceritakan kepada Al-Husein bin Ali Al- Ju’fi dari Zaidah dari Syihab bin Gharadah dari Sulaiman bin Amr bin Al-Ahwash berkata: Telah menceritakan kepada Bapakku bahwa dia melaksanakan haji wada’ bersama Nabi Shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertahmid dan memuji Allah, beliau memberi peringatan dan nasehat. Beliau menuturkan cerita dalam hadits nya, lantai bersabda: “Ketahuilah berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka ditempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah kalian memiliki hak atas istri kalian, dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian adalah dia tidak boleh memasukan seseorang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaiandan makanan (kepada) mereka.” Abu Isa berkata, “Arti dari ‘Awanun’ yaitu: mereka adalah tawanan kalian.[1]
Jalur Sanad:[2]
- Amru bin Al Ahwash
- Sulaiman bin ‘Amru bin Al Ahwash
- Syabib bin Ghardaqah
- Zaidah bin Qudamah
- Al Husain bin ‘Ali bin Al Walid
- Al Hasan bin ‘Ali bin Muhammad
Nama Lengkap | Amru bin Al-Ahwash |
Kalangan | Sahabat |
Kuniyah | - |
Negeri Semasa Hidup | Madinah |
Wafat | Tidak diketahui |
Ulama | Komentar |
---|---|
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani | Shahabat |
Adz Zahabi | Shahabat |
Nama Lengkap | Sulaiman bin ‘Amru bin Al Ahwash |
Kalangan | Tabi’in kalangan pertengahan |
Kuniyah | - |
Negeri Semasa Hidup | Kuffah |
Wafat | Tidak diketahui |
Ulama | Komentar |
---|---|
Adz Dzahabi | Tsiqah |
Ibnu Hibban | Disebutkan dalam ats-tsiqah |
Ibnul Qaththan | Majhul |
Ibnu Hajar al-Asqolani | Maqbul |
Nama Lengkap | Syabib bin Ghardaqah |
Kalangan | Tabi’in kalangan biasa |
Kuniyah | - |
Negeri Semasa Hidup | Kuffah |
Wafat | Tidak diketahui |
Ulama | Komentar |
---|---|
Ibnu Hibban | Tsiqah |
An-Nasa'i | Tsiqah |
Yahya bin Ma'in | Tsiqah |
Al 'Ajli | Tsiqah |
Ya'kub bin Sufyan | Tsiqah |
Ibnu Hajar Al 'Asqolani | Tsiqah |
Adz Dzahabi | Tsiqah |
Nama Lengkap | Zaidah bin Qudamah |
Kalangan | Tabi’ut Tabi’in kalangan tua |
Kuniyah | Abu Ash Shalti |
Negeri Semasa Hidup | Kuffah |
Wafat | 161 H |
Ulama | Komentar |
---|---|
Abu Zur'ah | Shaduuq |
Abu Hatim | Tsiqah |
An Nasa'i | Tsiqah |
Ibnu Hajar Al Asqolani | Tsiqah Tsabat |
Adz Dzahabi | Tsiqah Hujjah |
Adz Dzahabi | Alhafidz |
Nama Lengkap | Al Husain bin ‘Ali bin Al Walid |
Kalangan | Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa |
Kuniyah | Abu Abdullah |
Negeri Semasa Hidup | Kuffah |
Wafat | 203 H |
Ulama | Komentar |
---|---|
Yahya bin Ma'in | Tsiqah |
Ibnu Hibban | Disebutkan dalam ats tsiqah |
Ibnu Hajar Al Asqolani | Tsiqah abid |
Nama Lengkap | Al-Hasan bin ‘Ali bin Muhammad |
Kalangan | Tabi’ul Atba’ kalangan pertengahan |
Kuniyah | Abu ‘Ali |
Negeri Semasa Hidup | Marur Rawdz |
Wafat | 242 H |
Ulama | Komentar |
---|---|
Ya’kub Ibnu Syaibah | Tsiqah |
An-Nasa’i | Tsiqah |
Abu Bakar Khatib | Tsiqah |
Ibnu Hibban | Disebutkan dalam ats tsiqah |
At Tirmidzi | Hafidz |
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani | Tsiqah Hafidz |
Adz Dzahabi | Tsabat Hujjah |
Kritik Sanad (Naqd As-Sanad)
Jika dilihat dari persambungan sanad diatas, semua perawi saling terkait antara guru dan muridnya, sehingga penulis menyimpulkan bahwa seluruh hadist diatas bersambung sanadnya sampai Rasulullah SAW (hadits marfu’).
Dan jika dilihat dari kualitas perawi dalam hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Sulaiman bin ‘Amru bin Al Ahwash kurang kuat hafalannya yang ditandai dengan komentar Ibnul Qaththan yang menyebut beliau itu dengan sebutan majhul yang artinya tidak diketahui orangnya. Dalam tingkatan ilmu jarh wa at-ta’dil sebutan majhul ini dapat dikategorikan kedalam bagian perawi yang kurang kuat hafalannya karena tidak diketahui orangnya. Maka dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa hadits diatas termasuk kedalam hadits hasan lidzatihi karena ada 1 orang perawi yang dikategorikan sebagai orang yang tidak kuat hafalannya, yang ditandai dengan sebutan majhul.
Kritik Matan (Naqd Al-Matan)
1. Redaksi hadist tidak bertentangan dengan Al-Quran
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
Artinya:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."[3]
2. Terdapat hadis lain yang membahas perihal nusyuz
قَالَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوَطِّئَنَّ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda: “Perlakukanlah isteri-isteri kalian dengan baik, karena mereka adalah teman disisi kalian. Kalian tidak memiliki sesuatu apapun dari mereka selain itu. Kecuali jika mereka berbuat zina dengan terang-terangan maka tinggalkanlah mereka ditempat tidur dan pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Apabila mereka mentaati kalian maka janganlah berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Sungguh, kalian mempunyai hak dari isteri-isteri kalian dan isteri-isteri kalian mempunyai hak dari kalian. Adapun hak kalian terhadap istri kalian: jangan menginjakkan di tempat tidur kalian orang yang kalian benci dan janagn izinkan masuk rumah-rumah kalian terhadap orang yang kalian benci. Dan sungguh hak mereka atas kalian: hendaknya memperlakukan mereka dengan baik dalam masalah makanan dan pakaian.[4]”
3. Redaksi hadits tidak bertentangan dengan akal sehat
Hadits tentang tatacara penyelesaian nusyuz ini merupakan langkah guna mempertahankan keutuhan rumah tangga, tidak sampai terjerumus kedalam perceraian. Tata cara yang digunakan pun sangat relevan dan tidak sama sekali bertentangan dengan akal sehat. Karena cara-cara penyerlesaian nusyuz ini masih dalam batas-batas kewajaran. Walaupun ada dari tata cara tersebut yang di perbolehkan untuk memukul isteri, namun yang perlu diingat adalah pukulan tersebut bukanlah pukulan yang menyakitkan, yang dapat memberikan bekas luka terhadap istri. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa hadits tentang tata cara penyelesaian nusyuz ini tidak bertentangan dengan akal (logika) sehat.
Dari pemaparan penelitian terhadap hadits diatas dapat disimpulkan, bahwa dalam hadits diatas tidak ditemukan illat (kecacatan) dan syadz (kejanggalan) dalam artian tidak bertentangan dengan Nash Al-Quran, Hadits lain yang membahas tema yang sama dan juga tidak bertentangan dengan akal (logika) sehat manusia.
Kandungan Hadits:
Dalam hadits diatas menerangkan tentang tata cara peyelesaian nusyuz dalam rumah tangga. Isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Tata Cara Penyelesaian Nusyuz Menurut Islam
Adapun tata cara penyelesaian nusyuz yang dimaksud dari hadits diatas adalah sebagai berikut:[5]
Pisah Ranjang (Al-Hijr)
Secara etimologis hijr berarti meniggalkan, memisahkan dan tidak berhubungan dengan obyek yang dimaksud. Sedangkan kata al-Madhaji' yang menjadi rangkaian kata hijr berarti tempat tidur atau tempat berebah. Secara epistemologis atau istilah para fuqaha', hijr adalah seorang suami yang tidak menggauli isterinya, tidak mengajaknya bicara, tidak mengadakan hubungan atau kerja sama apapun dengannya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hijr dapat berbentuk ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami tidak memperhatikan atau memperdulikan perkataan isterinya serta tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan hijr dengan perbuatan adalah bahwa suami berpisah tempat tidurnya dari isterinya atau sekedar tidak mengaulinya, atau memisahkan diri dari kamarnya.[6]
Memukul (Adh-Dharb)
Imam al-Syafi’i berkata, bahwa dalam memukul itu tidak sampai pada suatu batas di mana pukulan itu tidak berat, tidak boleh sampai berdarah dan menjaga muka. Artinya seorang suami boleh memukul istrinya untuk memberikan pengajaran tehadap perbuatan nusyuz yang dilakukannya. Tapi kebolehan memukul tersebut harus dibatasi dengan batasan yang jelas yaitu, tidak dengan pukulan yang berat dan bertujuan untuk menyakiti, tidak sampai meninggalkan bekas apalagi sampai berdarah. Dan juga tidak boleh memukul muka (wajah). Namun demikian Imam al-Syafi’i berpendapat, lebih baik untuk tidak memukul istri. Karena tidak memukul istri adalah pilihan Rasulullah, walaupun ayat membolehkannya.
Dalam hal pemukulan, ulama mazhab sepakat bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih) pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka. Menurut Muhammad 'Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili sebagaimana dijelaskan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:
- Bagian muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.
- Bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena pemukulan ini bukan bermaksud untuk menciderai apalagi membunuh isteri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah sifatnya.
- Memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya.
Yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah bahwa pemukulan ini merupakan langkah terakhir, ketika langkah-langkah sebelumnya tidak berhasil, dan itupun harus dalam batas tidak menyakitkan.[7]
Maqashid Syariah
Dalam upaya mencapai tujuan rumah tangga yaitu mewujudkan keluarga bahagia, yang sakinah, mawaddah dan rahmah, maka ketika terdapat permasalahan dalam rumah tangga, khususnya dalam hal ini adalah adanya nusyuz, diperlukan tata cara untuk menyelesaikannya. Alasan utama mengapa harus ada langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah nusyuz ini adalah agar terhindar dari perceraian, karena bagaimana pun hakikat dari tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, dan tujuan terrsebut akan tidak akan pernah tercapai ketika dalam mengahdapi suatu masalah harus berujung dengan perceraian.
Alasan lain mengapa langkah-langkah penyelesaian nusyuz ini disyari’atkan adalah agar pihak yang yang merasa di durhakai oleh pasangannya tidak berbuat sewenang-wenang dalam memberikan hukuman kepada pihak yang berbuat nusyuz, dan pihak yang berbuat nusyuz sadar serta tidak mengulangi perbuatannya lagi.[8]
Nuyuz dalam Perspektif Metodologi Mubaadalah
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa dalam Al-Quran pun sudah di jelaskan bahwa nusyuz tidak hanya terjadi pada istri saja, tetapi suami pun dapat berbuat nusyuz terhadap istri, sebagaimana tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 128.
وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٢٨
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[9]
Karena Al-Quran sudah menyinggung nusyuz suami, maka penulis disini hanya akan menganalisis mengapa suami juga bisa di kategorikan kedalam nusyuz? Nusyuz secara bahasa artinya durhaka atau membangkang. Ma’na nusyuz disini masih sangat umum dan bisa saja dilakukan oleh siapapun tidak terkecuali oleh suami. Dengan demikian, ketika suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istri maka suami dapat dikategorikan kedalam nusyuz, karena illat dari nusyuz itu sendiri adalah adanya kelalaian dalam melaksanakan kewajibannya, baik secara penuh meninggalkannya atau hanya sebagian saja.
Adapun cara menyelesaikan nusyuz suami ini adalah dengan cara istri tersebut mengadakan perdamaian. Perdamaian yang dimaksudkan di sini menurut sebagian besar Ulama yakni dengan merelakan sebagian hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri dari suami. Misalnya istri rela tidak diberi nafkah oleh suaminya asalkan sang suami tidak menceraikannya. Meskipun sebenarnya pemberian nafkah adalah kewajiban suami kepada istri, namun jika demi menyelamatkan keutuhan rumah tangga maka tindakan seperti ini dibenarkan. Sebagian hak lain seperti melepaskan giliran malamnya untuk istri yang lain jika suami memiliki istri lebih dari satu.
Pertanyaan muncul, mengapa cara penyelesaian nusyuz suami dan istri berbeda, padahal illat nya sama yaitu adanya kedurhakaan terhadap satu sama lain? Menurut hemat pnulis memang dari penjelasan kedua ayat tersebut, secara tekstual terlihat adanya perbedaan mengenai cara penyelesaian nusyūz antara suami dan istri. Penyelesaian nusyūz istri lebih panjang dan bertahap. Sedangkan penyelesain nusyūz dari pihak suami hanya dengan cara berdamai. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dan perempuan berbeda secara fitrah dan tabiatnya. Sehingga pendekatan yang digunakan untuk menyikapi perbuatan atau perilaku kaduanya juga pasti berbeda. Itu sebabnya ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “fungsi menciptakan bentuk”.
Wanita pada dasarnya diciptakan dengan karakter lembut dan lebih banyak menggunakan perasaannya ketimbang akalnya. Sehingga untuk mendekati atau memperbaiki sikap mereka, perlu cara-cara yang lembut namun menyentuh. Itu sebabnya Allah swt. tidak langsung menganjurkan suami untuk mengambil jalan seperti yang dianjurkan Allah swt. kepada istri yang khawatir suaminya berbuat nusyūz, namun menggunakan metode yang bertahap dan perlahan. Berbeda dengan wanita, laki-laki justru lebih banyak menggunakan akal ketimbang perasaannya. Segala sesuatu yang dibuat oleh laki-laki biasanya dilakukan dengan pertimbangan akal. Laki-laki biasanya bersikap lebih frontal ketika mengalami ketidaknyamanan, tidak seperti wanita. Dalam berbagai tindakan, laki-laki cenderung dingin, agresif, keras, dan mengundang keributan.
Kesimpulan
Kesimpulan
Hadits tentang tata cara penyelesaian nusyuz yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi ini berderajat Hasan lidzatihi, karena ada seorang perawi yang bernama Sulaiman bin ‘Amru bin Al Ahwash yang dikategorikan sebagai orang yang kurang kuat hafalannya. Hadits ini pun memiliki matan hadits yang tidak ber’illat dan tidak syadz atau bertentangan dengan yang lainnya (Al-Quran, Al-Hadits dan akal sehat).
Hadits ini berisi tentang tata cara penyelesaian nusyuz istri terhadap suami, dimana masing-masing cara dari penyelesaian ini merupakan sebuah langkah untuk tetap menjaga keharmonisan rumah tangga atau terhindar dari perceraian. Ada 2 langkah, pertama, dengan pisah ranjang atau al-hijr dan yang kedua, dengan pukulan yang tidak melukai.
Maqashid syari’ah dari penetapan langkah-langkah dalam menyelesaikan nusyuz, merupakan tindakan yang semata-mata dilakukan hanya untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, dan terhindar dari perceraian dan tujuan dari pernikahan tersebut dapat tecapai dan terealisasi.
Dalam Al-Quran telah disinggung mengenai nusyuz suami terhadap istri, jadi nusyuz itu tidak hanya terjadi istri terhadap suami saja, melainkan suami terhadap istri pun dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Yang berbeda hanya cara menyelesaikannya saja, hal itu dikarenakan perbedaan tabi’at antara laki-laki dan perempuan.
[1] Tirmidzi, No. 1083. Dalam aplikasi Ensiklopedia Hadits 9 Imam Android (kitab penyusuan, bab hak istri atas suami)
[2] Software ensiklopedia hadits 9 Imam
[3] Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Quran dan Terjemah, (Jakarta: CV. Pustaka Jaya Ilmu), 2013
[4] H.R. Ibnu Majah No 1841
[5] Jurnal: Mikratul Aswad, “Tindakan Suami ketika Istri Durhaka (Nusyuz)”, hal. 5
[6] Ibid, hal 8
[7] Ibid, hal 11
[8] Skripsi: Ummi Khoiriah, “Nusyuz dalam Perspektif Al-Quran”, (Aceh: UIN Ar-Raniry, 2016), hal. 52
[9] Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Quran dan Terjemah, (Jakarta: CV. Pustaka Jaya Ilmu), 2013
[2] Software ensiklopedia hadits 9 Imam
[3] Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Quran dan Terjemah, (Jakarta: CV. Pustaka Jaya Ilmu), 2013
[4] H.R. Ibnu Majah No 1841
[5] Jurnal: Mikratul Aswad, “Tindakan Suami ketika Istri Durhaka (Nusyuz)”, hal. 5
[6] Ibid, hal 8
[7] Ibid, hal 11
[8] Skripsi: Ummi Khoiriah, “Nusyuz dalam Perspektif Al-Quran”, (Aceh: UIN Ar-Raniry, 2016), hal. 52
[9] Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Quran dan Terjemah, (Jakarta: CV. Pustaka Jaya Ilmu), 2013