-->

Rukun dan Syarat Kewarisan Menurut Hukum Islam

Fiqih Mawaris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang mengakibatkan keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang mungkin sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. 

Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Kewarisan. Jadi hukum kewarisan itu dapat dikatakan sebagai “himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.

Hal-hal yang diatur dalam hukum waris di dalam praktiknya terdapat permasalahan yang tidak sederhana dan memerlukan pemikiran yang sangat mendalam guna memahami hal-hal tersebut. Seperti rukun dan syarat mewarisi yang menjadi bagian yang sangat penting dari perihal tersebut, sehingga harus sangat diperhatikan. Juga yang berkaitan dengan sebab-sebab yang dapat menjadikan waris dapat diterima dan dapat menjadi penghalang akan penerimaannya, itu juga harus sangat diperhatikan dengan cara seksama.ilmu waris atau fiqih mawaris tidak akan pernah terlepas dari yang namanya rukun waris, dari rukun pasti terdapat syaratnya. Itu sangat penting dipahami oleh orang-orang yang ingin belajar ilmu waris/hukum waris atau fiqih mawaris.
Rukun dan Syarat Kewarisan
Rukun dan Syarat Kewarisan 

Rukun dan Syarat Kewarisan Menurut Islam

Dalam syariat islam ada tiga syarat supaya pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu: 
  • Orang yang mewariskan (muwarris) benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta pada keluarga pada masa hidupnya, tidak termasuk dalam kategori waris mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.
  • Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. 
  • Harta waris

Yang dimaksud hidup pada pengertian hidup di atas adalah:

  1. Anak (embrio)yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia. 
  2. Orang yang menghilang dan tidak diketahui kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup. apabila dalam waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian warisnya dibagikan kembali kepada ahli waris.

  • Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi: 
  1. Hubungan nasab (keturunan, kekerabatan), baik pertalian garis lurus keatas (Ushul al-Mayyit), seperti Ayah, Kakek, dan lainnya, atau pertalian lurus kebawah (Furu‟al-Mayyit), seperti anak, cucu, atau pertalian mendatar/menyamping (al-Hawasyi) seperti saudara, paman dan turunannya.
  2. Hubungan pernikahan, yaitu seorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan. Suami istri tersebut dapat saling mewarisi, apabila hubungan perkawinan mereka sah menurut Syariat Islam yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun syarat-syaratnya dan masih berlangsungnya hubungan perkawinan, yakni hubungan pernikahan mereka masih berlangsung sampai saat salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan bercerai.
  3. Hubungan perbudakan (wala), yaitu seorang berhak mendapatkan warisan dari bekas budak (hamba) yang telah dimerdekakannya.
  4. Karena hubungan agama islam yaitu apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi, maka hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat islam.

Rukun-rukun Waris

Kewarisan akan terjadi apabila rukun-rukun waris telah terpenuhi. Karena rukun memang diartikan sebagai sesuatu yang hars ada dan tidak dapat dipisahkan. Adapun rukun-rukun kwairsan menurut hukum islam ialah:

a. Al-Muarris 

Al-Muarris adalah orang yang mewariskan harta atau orang yang meninggal dunia. Dalam fiqih mawaris dijelaskan bahwa kematian itu dibedakan menjadi dua, yaitu mati hakiki dan mati hukmi. Mati hakiki adalah kematian yang indikatornya dapat diamati indra, tidak bernafas, tidak bergerak dan lain sebagainya. Sedangkan mati hukmi adalah kematian yang didasarkan pada keputusan pengadilan, meskipun ada kemungkinan orang tersebur belum meninggal dunia secara riil. Baik mati hakiki maupun hukmi, harta seorang muwaris dapat diwaris. Karena telah memenuhi syarat, yaitu kematian muwarris.

b. Al-Warits 

Al-Warits adalah  ahli waris yang masih hidup saat kematian muwarris. Artinya ketika sang muwarris meninggal dunia ia betul-betul masih hidup atau dinyatakan masih hidup, meskipun dalam kandungan ibunya. Keputusan ini penting karena jika antara muwarris dan ahli waris meninggal dunia secara bersama-sama, maka antara keduanya tidak ada peristiwa kewarisan. Kasus kematian bersama ini biasanya dalam buku kewarisan dimasukkan dalam sub bab gharq yang artinya keluarga yang mati bersama karena tenggelam.

c. Al-Mauruts 

Al-Mauruts adalah harta yang diwaris, harta warisan dan juga disebut tirkah (harta peninggalan). Sesungguhnya konotasi tirkah dan mauruts memang berbeda. Yang pertama menunjuk pada seluruh harta yang ditinggalkan oleh muwarris. Sedangkan yang kedua adalah harta yang siap diwaris yaitu harta peninggalan setelah dikeluarkan untuk kepentingan pembayaran hutang dan juga wasiat dari muwarris serta pengurusan jenazah.

Penyusun artikel : Ahmad Fachrurroji
Load comments

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel