-->

Perjanjian perkawinan menurut KHI dan syari'at islam

Pengertian Perjanjian Perkawinan - Perjanjian perkawinan yaitu “persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah. [Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Pranada Media Group, 2012), hlm, 119.]

Dalam literartur fiqh klasik tidak ditemukan bahasan khusus dengan nama perjanjian perkawinan. Yang ada dalam bahasan fiqh dan diteruskan dalam sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama adalah “Persyaratan dalam Perkawinan” atau الشروط في النكاح . [Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm, 145.]

Kaitan antara syarat perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji harus memenuhi syarat yang ditentukan. Namun perjanjian itu tidak sama dengan sumpah karena sumpah dimulai dengan ucapan sumpah, yaitu: wallahi, billahi, dan tallahi, dan membawa akibat dosa bagi yang tidak memenuhinya. 

Perjanjian perkawinan

Dalam Pasal 45 KHI disebutkan bahwa perjanjian perkawinan itu meliputi dua bentuk, yaitu: pertama, taklik talak dan kedua, perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pertama, taklik talak ini merupakan perjanjian perkawinan yang telah diatur oleh Menteri Agama dan bukan berdasarkan perjanjian yang diatur oleh kedua calon mempelai yang akan menikah. Sebagai contoh taklik talak ini adalah sebagai berikut:

Sesudah akad nikah, saya ... bin ... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Islam.

Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya seperti berikut.
Sewaktu-waktu saya:
  1. meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,
  2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, 
  3. atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu, 
  4. atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya.

Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwad (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial. [Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm, 42-43.]

Palu, 28 September 2005

  Suami,              

........................................
Tanda Tangan dan Nama

Kedua,  perjanjian lain yang dimaksud dalam KHI adalah perjanjian yang dilakukan oleh kedua calon mempelai dalam bentuk yang lain diluar taklik talak yang telah dikemukakan diatas serta tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Adapun contohnya sangatlah beragam, di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Kedua calon mempelai sepakat untuk mengadakan perjanjian perkawinan secara tertulis dan disahkan oleh Petugas Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta yang meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
  • Calon suami mengajukan syarat kepada calon istrinya, bahwa ia bersedia menikahi (calon) istrinya itu dengan syarat calon istrinya itu masih dalam suci (perawan) dan apabila setelah menikah ia menemukan istrinya dalam keadaan tidak suci, maka jatuh talak satu. Kemudian calon istrinya pun setuju dengan persyaratan itu. Maka, diadakanlah perjanjian perkawinan antara pihak pertama (calon istri) dan pihak kedua (petugas yang berkewenangan) yang di dalamnya ada ketersangkutan calon mempelai pria selaku pihak ketiga.
Apabila pihak pertama tidak memenuhi perjanjian itu dan pihak ketiga merasa dirugikan, maka perkawinannya tetap sah, tapi pihak ketiga boleh mengajukan pembatalan perkawinan ke petugas yang bersangkutan. Jadi, apabila perjanjian itu tidak terpenuhi, maka tidak serta merta jatuh talak, melainkan pihak yang keberatan terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama barulah jatuh talak.

Penjelasan  ini terdapat dalam KHI Pasal 46 ayat 2, yaitu:

(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

Syarat dalam Perjanjian Perkawinan


Syarat adalah sesuatu yang diperlukan adanya (untuk sahnya suatu kewajiban), tetapi adanya itu tidak menyebabkan adanya yang lain, seperti air muthlaq untuk wudhu dan menutup aurat untuk shalat. [Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Al-Awwaliyah (Jakarta: Sa’adiyah Putera), hlm, 7.]
Az-Zuhaily berkata dalam Fiqh Al-Islam, bahwa yang dimaksud syarat di sini adalah sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu calon mempelai yang akan menikah kepada yang lainnya dengan maksud tertentu. Syarat ini juga biasanya berbarengan dengan ijab qabul. Tegasnya, sesungguhnya ijabnya tetaplah sah, akan tetapi bagi orang yang berijab tadi terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Hal ini berbeda dengan syarat perkawinan yang digantungkan pada syarat sahnya perkawinan, seperti Islam, baligh, adanya mahar, dan lain-lain. [Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Ilslam wa Adillatuh (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1985) Edisi ke-2, Juz 8, hlm, 53.]  Artinya, syarat perkawinan itu terbagi menjadi dua, yaitu: 
  1. pertama, syarat yang ada hubungannya dengan ijab qabul dan sahnya suatu perkawinan. 
  2. Kedua, ada syarat yang tidak ada hubungannya dengan ijab qabul dan sahnya suatu perkawinan. 
Syarat yang pertama itu wajib dilaksanakan, sedangkan syarat yang kedua itu terbagi kepada empat tingkatan, yaitu:
  1. wajib, 
  2. mubah, 
  3. makruh, dan 
  4. haram. 
Tergantung pada apa yang disyaratkan. Berkaitan dengan masalah syarat dalam perjanjian perkawinan, para ulama sepakat bahwa syarat dari perjanjian perkawinan itu tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Sebagaimana sabda Nabi saw, yaitu:

كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل وان كان ماءة شرط

“Segala sesuatu yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah batal, sekalipun 100 kali syarat”. [Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm, 120.]

Dan sabda Nabi saw, yaitu:

المسلمون على شروطهم الا شرطا احل حراما وحرم حلالا

“Orang-orang Islam itu menurut syarat mereka, kecuali apabila berupa syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.

Selaras dengan hadits Nabi di atas, dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa:
  1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. [Ali, Hukum Perdata Islam, hlm, 41.]

Dikuatkan oleh peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, yaitu:
Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 

Sama halnya dengan apa yang telah dijelaskan di atas, KHI dalam Pasal 46 ayat 1 menjelaskan bahwa:

(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. [Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2016), hlm, 21.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan itu dianggap sah dan berlaku manakala tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Begitu pula sebaliknya, apabila perjanjian itu bertentangan dengan Syariat Islam, maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah dan berlaku.

Hukum Membuat Perjanjian dalam Perkawinan


Pada dasarnya, membuat segala sesuatu itu, baik yang kaitannya dengan dengan ibadah ataupun diluar itu adalah mubah (boleh) hukumnya, termasuk membuat perjanjian dalam perkawinan. Derajatnya akan naik dari mubah ke wajib atau haram manakala ada ‘illat yang mendukungnya berupa dalil Al-Qur’an, Hadits ataupun lainnya. Hal ini berdasarkan Qaidah Al-Fiqhiyyah yang berbunyi:

الاصل في الاشياء الاباحة الا ما دل دليل على امره او تركه 

“Hukum asal dari segala sesuatu itu adalah mubah (boleh), kecuali (jika) ada dalil yang memerintah (sesuatu itu) atau meninggalkan (sesuatu itu)."

Namun kalau sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian perkawinan itu, menjadi perbincangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat itu hukumnya adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya; bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi dari ‘Uqbah bin ‘Amir menurut jemaah ahli hadis:

احق الشروط بالوفاء ما استحللتم به الفروج

Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan. [Syarifuddin, Hukum Perkawinan, hlm, 146.]

Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian dan terikatnya dengan kelangsungan perkawinan tergantung kepada bentuk persyaratan yang yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu menjadi tiga:
  1. Pertama: syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami istri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri. Umpamanya, suami istri bergaul secara baik, suami mesti memberi nafkah untuk anak dan istrinya; istri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan suami memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu. 
  2. Kedua, syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan atau yang secara khusus dilarang untuk dilakukan atau memberi mudarat kepada pihak-pihak tertentu. Umpamanya, suami atau istri mmempersyaratkan tidak akan beranak; istri mempersyaratkan suami menceraikan istri-istrinya yang lebih dahulu; suami mempersyaratkan dia tidak akan membayar mahar atau nafkah dan suami meminta istrinya mencari nafkah secara tidak halal, seperti melacur. 
  3. Ketiga, syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’ untuk dilakukan. Umpamanya, istri mempersyaratkan bahwa suaminya tidak akan memadunya, hasil pencarian dalam rumah tangga menjadi milik bersama. 
Para ulama sepakat mengatakan bahwa perjanjian yang pertama itu wajib dilaksanakan. Hal ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَرِثُواْ ٱلنِّسَآءَ كَرۡهٗاۖ وَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ لِتَذۡهَبُواْ بِبَعۡضِ مَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩ 

Yang memiliki arti: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS. An-Nisa’: 19)

أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦ 

Artinya adalah: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. At-Thalaq : 6)

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤ 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa’ : 34)

عن أبي هريرة رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه ، ولا تأذن في بيته إلا بإذنه ، وما أنفقت من نفقة عن غير أمره فإنه يؤدى إليه شطره " 

“Dari Abu Hurairah ra, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “Tidak boleh (haram) bagi seorang wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada disisinya, kecuali dengan seizinnya. Dan harta yang ia nafkahkan bukan dengan perintah (suaminya), maka setengah pahala diberikan kepada suaminya”. (HR. Bukhari)

Para ulama sepakat bahwa perjanjian perkawinan pada bagian kedua di atas tidak diperbolehkan (haram) dilaksanakan atau dipenuhi, berdasarkan hadits sebagai berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " لا يحل لامرأة تسأل طلاق أختها ، لتستفرغ صحفتها ، فإنما لها ما قدر لها

“Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw bersabda : “Tidak boleh seorang wanita meminta seorang lelaki agar menceraikan saudarinya agar ia bisa memenuhi piringnya dan mengosongkan yang lain”. (HR. Bukhari)

وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ وَعَلَى ٱلۡوَارِثِ مِثۡلُ ذَٰلِكَۗ فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٢٣٣ 

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah : 233)

Adapun perjanjian dalam bentuk ketiga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Dalam contoh, istri meminta supaya dia tidak dimadu, jumhur ulama di antaranya ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat tersebut tidak boleh dipenuhi, namun tidak membatalkan akad perkawinan kalau dilakukan. Alasan mereka ialah bahwa yang demikian termasuk syarat mengharamkan sesuatu yang halal sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi di atas dan juga tidak termasuk ke dalam apa yang diatur dalam kitab Allah yang disebutkan dalam hadis di atas.

Yang berbeda pendapat dengan jumhur dalam hal ini adalah ulama Hanabilah yang mengatakan bila istri mensyaratkan bahwa ia tidak dimadu wajib dipenuhi. Bagi mereka persyaratan ini telah memenuhi apa yang dikatakan Nabi tentang syarat yang paling layak untuk dipenuhi tersebut di atas. Di samping itu tidak terdapat larangan Nabi secara khusus untuk hal tersebut. Pendapat Imam Ahmad dalam hal ini sangat relevan dengan usaha memperkecil terjadinya poligami yang tidak bertanggung jawab. 

Berdasarkan pendapat Ahmad atau Hanabilah tersebut terbukalah kesempatan untuk membuat persyaratan atau perjanjian dalam perkawinan selama tidak ditemukan secara khusus larangan Nabi untuk itu, seperti taklik talak dan adanya harta bersama dalam perkawinan meskipun keberadaan harta bersama itu tidak ditemukan dalam kitab fiqh klasik. Alasannya ialah meskipun menurut kebiasaannya harta perkawinan itu di tangan suami, namun secara khusus tidak ada larangan untuk menggabungkan harta perkawinan itu.

Perjanjian Perkawinan dalam Maqashid Al-Syari’ah


Menurut bahasa kata maqashid berasal dari bahasa Arab مقاصد jama’ lafazh مقصد yang berarti maksud atau tujuan. [Amalia Hasanah, Kamus Besar Bahasa Arab (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2013), hlm, 431.]  Sedangkan kata syari’ah berasal dari kata شرع , يشرع , شرعا yang berarti syariat, undang-undang, dan hukum-hukum yang perintahkan oleh Allah. [Hasanah, Kamus, hlm, 234.
Secara garis besar, maqashid syari’ah dapat dikatakan sebagai tujuan dari hukum-hukum Allah yang disyari’atkan kepada manusia, khususnya umat Islam. Tujuan itu umumnya berupa perintah, baik perintah untuk melaksanakan suatu perbuatan, ataupun meninggalkannya.
Pada umumnya, maqashid syari’ah itu terbagi menjadi dua jenis yang sering disebut: دفع المفاسد وجلب المصالح artinya, “Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan”. Karena pada dasanya syari’at itu menyuruh manusia untuk berbuat kemaslahatan, bukan berbuat kerusakan.

Adapun kemaslahatan di sini menurut Imam Malik sebagaimana yang dianalisis Al-Syatibi adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah (primer) maupun hajjiyat (sekunder). [Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm,120.]

Segala sesuatu yang perintahkan Allah dalam syari’at Islam pasti ada maksud atau tujuannya, termasuk perkawinan dan yang berkaitan dengannya. Umpamanya seperti syarat dan rukun perkawinanan atau yang berada di luar itu namun masih berkaitan dengan perkawinan, seperti perjanjian dalam perkawinan. 

Tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 ialah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pada itu, KHI Pasal 2 menjelaskan hal yang tidak mengurangi apa yang sudah ada dalam Undang-undang Perkawinan di atas tentang tujuan perkawinan, yaitu untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-Rum ayat 21 sebagai berikut:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١ 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum : 21)

Berbicara mengenai maqashid syari’ah (tujuan) dari perjanjian perkawinan, hal ini sama seperti membicarakan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Yang mana tujuan dari perkawinan itu adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Guna mewujudkan hal itu, tidak sedikit dari banyak calon mempelai yang mengajukan perjanjian perkawinan, baik sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Tujuannya tidak lain adalah agar adanya kepastian hukum pada apa yang mereka pernjanjikan dalam perkawinan. Lebih lanjut, hal itu berguna untuk mewujudkan ketenangan dalam rumah tangga atau dalam bahasa lain disebut sakinah.

Penyusun tulisan : Sofyan Suherman
Load comments

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel