Praktek Nikah Mut'ah yang Dilakukan Oleh Ulama Syi'ah
10/14/17
Add Comment
Pengertian nikah mut’ah - Nikah mut’ah adalah akad yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan dengan menggunakan lafadz “tamattu, istimta” atau sejenisnya. Nikah mut’ah disebut juga kawin kontrak (mu’aqqat) dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu, tanpa wali dan saksi.
Nikah mut’ah berbeda dengan nikah mu’aqqat (nikah yang dibatasi umurnya). Dalam nikah mut’ah, contohnya sighat akad nikah mut’ah seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita “aku nikah mut’ah dengan engkau beberapa hari dengan mahar dua dinar” atau “aku nikah mut’ah engkau selama aku tinggal di negeri ini dengan mahar seribu dinar” atau “aku nikah mut’ah dengan engkau satu bulan dengan mahar seribu dinar”. Wanita menjawab “aku terima”.
Nikah mut'ah oleh ulama syi'ah |
Pernikahan mu’aqqat adalah pernikahan yang disertai dengan sighat, yang menunjukkan pembatasan pernikahan dengan waktu tertentu dan terbatas, baik dalam waktu yang lama maupun hanya sebentar. Pernikahan mu’aqqat ini hampir sama dengan pernikahan mut’ah, atau bagian dari nikah mut’ah karena maksudnya sama dengan nikah mut’ah.
Jika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita, “Aku nikahkan engkau dalam waktu seminggu atau lebih”, pernikahannya batal menurut sebagian besar fuqaha.
Zufar bin Al-Hudzail di antara sahabat Abu Hanifah berpendapat tentang lafal dalam akad nikah mu’aqqat, seperti seorang laki-laki berkata, “Aku nikahkan engkau dengan syarat aku ceraikan engkau dalam waktu sepuluh hari.” Lafal akad pada contoh tersebut termasuk syarat yang rusak dan akadnya sah karena ungkapan sighat tersebut layak untuk menyelenggarakan akad nikah, tetapi disertai dengan persyaratan yang rusak, yaitu syarat pembatasan waktu.
Perbedaan nikah mut'ah dengan nikah mu'aqqat
Perbedaannya ada tiga (3), yaitu:
- Nikah mut’ah harus menggunakan akad tamattu’, sedangkan nikah mu’aqqat menggunakan lafadz zawaj.
- Saksi tidak menjadi syarat dalam nikah mut’ah, sedangkan dalam nikah mu’aqqat menjadi syarat.
- Penentuan waktu tidak menjadi syarat dalam nikah mut’ah, sedangkan dalam nikah mu’aqqat menjadi syarat.
Syarat dan rukun nikah mut’ah menurut syi’ah
Menurut imam syi'ah, terdapat beberapa syarat-syarat nikah mut'ah. Yaitu sebagai berikut:
- Ucapan ijab kabulnya dengan lafadz zawwajtuka atau ankahtuka atau matta’tuka.
- Calon istri harus seorang muslimah atau kitabiyah, tetapi diutamakan muslimah.
- Harus dengan mahar dan harus disebutkan maharnya.
- Batas waktunya jelas.
- Batas waktunya diputuskan berdasarkan persetujun masing-masing.
Hukum yang berkaitan dengan nikah mut'ah
Adapun hukum yang berkaitan dengan nikah mut’ah adalah sebagai berikut.
- Jika mas kawinnya tidak disebutkan, tetapi batas waktunya disebut, akad nikahnya batal. Jika maharnya disebutkan, sedangkan batas waktunya tidak disebutkan, perkawinannya menjadi kawin biasa.
- Tidak ada hukum untuk membuat syarat-syarat sebelum akad nikah, sekiranya disebutkan, harus dipatuhi.
- Suami boleh mendatangi calon istrinya dengan waktu yang telah ditentukan oleh masing-masing pihak.
- Suami boleh melakukan azal tanpa izin calon istrinya.
- Anak yang lahir menjadi anaknya walaupun ia melakukan azal.
- Tidak ada talak dan tidak ada lian.
- Tidak ada hak waris antara suami istri.
- Anaknya berhak mewarisi dari ayah dan ibunya, dan ayah atau ibunya berhak mewarisi dari anaknya.
- Masa iddah dua kali masa haid, bagi yang masih berhaid. Adapun wanita yang sudah berhenti haidnya, masa iddah nya 45 hari dan iddah wafatnya 4 bulan 10 hari.
- Tidak dibenarkan melakukan akad baru sebelum habis masa yang telah ditentukan, tetapi suami boleh dengan ridhanya menghibahkan sisa waktu untuk istrinya.
Mungkin tertarik dengan artikel berikut ini:
- Wanita yang yang tidak boleh dinikahi
- Wanita yang tidak boleh dikhitbah
- Hukum meihat anggota tubuh dari wanita yang dikhitbah
Hukum melaksanakan nikah mut’ah
Sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa hukum nikah mut’ah adalah tidak sah, tetapi Syi’ah Imamiyah memperbolehkan.
Jumhur Ulama melarang nikah mut’ah dengan beberapa dalil yang diambil dari Al-Qur’an, sunah, dan ijma’ para ulama.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. An-Nisa’ [4]: 25)
Ayat tersebut mewajibkan nikah dengan cara izin keluarganya, yaitu nikah syar’i yang harus ada izin dari wali dan disaksikan dua saksi.
Nikah mut’ah menurut Abdul Wahab merupakan perkawinan yang dilarang (bathil).
Kaum Syi’ah Imamiyah membolehkan nikah mut’ah dengan beberapa dalil.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
"dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Q.S. An-Nisa’ [4]: 24)
Pada dasarnya Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 24 tidak menunjukkan kebolehan nikah mut’ah, justru menunjukkan pada pernikahan yang abadi karena ayat sebelumnya menunjukkan orang-orang yang haram dinikahi, yakni firman Allah SWT:
رِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. An-Nisa [4]: 23)
Permulaan surat An-Nisa ayat 23 menyempurnakan penjelasan wanita yang haram dinikahi (muharramat) dengan firmannya: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” Setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi kemudian Allah SWT berfirman:
“...Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu, jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban...” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 24)
Pendapat Ibnu Abbas tentang nikah mut’ah sama seperti para sahabat yang lain. Rasulullah SAW tidak menghalalkan nikah mut’ah bagi manusia yang tinggal dirumah atau tinggal di negerinya.
Ibnu Abbas juga mengetahui bahwa Rasulullah SAW mengharamkan nikah mut’ah pada hari penaklukan Mekkah dan diperkuat keharamannya pada masa haji wada’. Perbedaan Ibnu Abbas dari sahabat lain bahwa ia tidak mengambil hukum haram pada nikah mut’ah untuk selamanya, baik dalam keadaan darurat maupun tidak. Ia memahaminya seperti keharaman bangkai, darah, dan daging babi. Ia membolehkan (mubah) ketika dalam keadaan darurat yang dikhawatirkan terjadi perzinaan.
Para sahabat memahami hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim “Sesungguhnya aku pernah mengizinkan bagimu nikah mut’ah bagi wanita-wanita. Dan seungguhnya Allah telah mengharamkan yang demikian itu sampai hari kiamat.” (H.R. Muslim)
Nikah mut’ah hukumnya haram, baik bagi yang darurat maupun tidak. Ibnu Abbas pernah marah dan ingkar ketika orang memperluas bahwa bolehnya nikah mut’ah dan tidak hanya membatasi ditempat darurat.
Tidak ada perbedaan pendapat para fuqaha dari kalangan Ahlussunnah dan Syi’ah tentang kebolehan nikah mut’ah pada masa Rasulullah SAW tetapi kemudian nikah mut’ah menjadi perbedaan (ikhtilaf) di kalangan mereka. Menurut fuqaha Ahlussunnah, nikah mut’ah hukumnya haram pada masa setelah Rasulullah sampai sekarang, bahkan sampai hari kiamat sebagaimana Rasulullah telah mengharamkannya sampai enam kali dalam peristiwa yang berbeda.
Wallhua'lam...
0 Response to "Praktek Nikah Mut'ah yang Dilakukan Oleh Ulama Syi'ah"
Post a Comment
Peraturan berkomentar:
1. Dilarang berkomentar dengan link aktif.
2. Dilang mempromosikan barang atau jasa.
3. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan.
4. No SARA.
Jangan lupa untuk membagikan artikel dalam blog ini kepada teman-teman. Terima kasih sudah berkunjung.