-->

Usia Perkawinan Menurut Undang-undang

Batas usia perkawinan - Menurut hukum Islam, pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syari’at Islam.

Ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah terdapat dlam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 dan 59.

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberik kemampuun kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-nya), Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nuur [24]: 32)                                                                       
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini adalah perintah untuk menikah sebagaimana pendapat sebagian dari ulama mewajibkan menikah bagi mereka yang mampu. 

Al-Maraghy menafsirkan sebagaimana yang dikutip oleh Mustofa kalimat washalihin, para laki-laki atau prempuan yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta, dan lain-lain. 

Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut (washalihin) bahwa seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan berarti yang taat beragama, karena fungsi perkawinan bukan hanya memerlukan persiapan materi, melainkan juga persiapan mental dan spiritual, baik bagi calon laki-laki maupun calon perempuan.
Usia perkawinan
Usia perkawinan menurut undang-undang | Gambar hanya ilustrasi
Sumber gambar: Google.com
Dalam Surat An-Nur ayat 59 yang artinya:

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperi orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nuur [24]: 59)

Al-Maraghi menafsirkan dewasa (rusydam) itu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta dengan membelanjakannya, sedangkan baligh al-nikah adalah jika usianya telah siap menikah. Al-Maraghi menginterpretasikan bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu. 
  • Menurut Rasyid Ridha, kalimat “baligh al-nikah” menunjukkan bahwa usia seseorang untuk menikah, yaitu sampai bermimpi, pada umur ini seseorang dapat melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Oleh sebab itu, rusydan adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasarruf dan mendatangkan kebaikan.
  • Menurut Hanafi, tanda baligh bagi seorang laki-laki ditandai dengan mimpi dan keluarnya mani, sedangkan perempuan ditandai dengan haid. Jika tidak ada tanda-tanda bagi keduanya, ditandai denga tahun, yaitu 18 bagi laki-laki dan 17 bagi perempuan. 
  • Menurut Imam Malik, baligh ditandai dengan keluarnya mani dalam kondisi tidur atau ditandai dengan beberpa tumbuhnya rambut di anggota tubuh. 
  • Menurut Imam Syafi’i, batasan baligh adalah 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. 
  • Menurut Hambali, bagi laki-laki ditandai dengan mimpi atau umur 15 tahun, sedangkan bagi perempuan ditandai dengan haid.

Baca juga: Kriteria baligh menurut fuqoha

Dengan demikian, kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan usia dan dapat pula dengan tanda-tanda, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah “Dari Aisyah r.a Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Terangkat qalam (pertanggungjawaban) dari tiga hal, orang yang tidur hingga ia terbangun, dari anak kecil hingga ia mimpi, dari orang gila hingga ia siuman (sembuh), dan sadar.” (H.R. Ahmad dan Empat Imam, kecuali Tirmidzi)
Berdasarkan hadits di atas, ciri utama baligh adalah dengan tanda-tanda seperti mimpi bagi laki-laki, dn haid bagi perempuan. Hadits tersebut tidak mengisyaratkan tentang batasan baligh, tetapi hanya menjelaskan tanda-tanda baligh (‘alamat baligh).

Secara eksplisit para fuqaha tidak sepakat dengan batas usia minimal perkawinan. Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali berpendapat bahwa ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil (belum baligh), begitu juga neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Hanya Ibnu Hazm dan Subrumah berpendapat abhwa ayah tidak boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil, kecuali ia sudah dewasa dan mendapatkan izin darinya.

Dalam kitab kasyifah Al-saja dijelaskan, “Tanda-tanda dewasa (baligh) seorang itu ada tiga, yaitu sempurnanya umur 15 tahun, dan haid menstruasi bagi wanita usia 9 tahun.” Hal ini dapat dikaitkan juga dengan perintah Rasulullah SAW kepada kaum muslimin agar mendidik anaknya menjalankan shalat pada saat berusia tujuh tahun, dan memukulnya pada usia sepuluh tahun, apabila anak enggan menjalankan shalat.

Adanya konsensi bagi calon mempelai yang kurang dari sembilan belas tahun atau enam belas tahun bagi wanita, didasarkan pada nash yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada saat menikah dengan Aisyah juga perlu dipahami beriringan dengan tuntutan situasi dan kondisi saat itu dibandingkan dengan sekarang, jelas berbeda.

Para ulama madzhab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti kebalighan seorang wanita, hamil terjadi karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki. 

Imamiyah, Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan bahwa tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Hanafi menolaknya karena bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada di tubuh. Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa usia baligh itu anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya tujuh belas. Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak-anak adalah delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan tujuh belas tahun.

Meskipun dalam perkembangan modern batas usia minimal menikah variatif di tiap-tiap negara, secara garis besar, usia baligh untuk menikah antara 15-21 tahun.

Menurut Asrorun Ni'am (ketua KPAI) dalam seminarnya di IAIN Cirebon, "Jika ada yang yang menikah di usia 16-19 tahun, mereka boleh menikah, akan tetapi lebih baik jangan bergaul terlebih dahulu. Karena pada usia tersebut, kondisi badan belum siap menerima dengan sempurna."

"Jika ada yang menikah diusia 16 tahun misalnya, berari ada kewajiban sang anak yang belum terpenuhi, yaitu kewajiban belajar 12 tahun. Misalnya saja ketika sekolah dasar sudah berusia 7 tahun. usia 7 tahun + 12 tahun (wajib belajar 12 tahun)=19 tahun. Maka dari itu, ketika menikah di usia 16 tahun, berarti masah ada 3 tahun lagi kewajiban anak yang belum dipenuhi", lanjutnya.


Baca juga: 

Batas usia perkawinan di Indonesia -  Batas usia perkawinan di Indonesia berbeda dengan negara lain, meskipun batas usia tersebut masih standar dengan negara-negara lain. Dalam melaksanakana perkawinan, didalam undang-undang telah mengaturnya, yaitu:

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ayat (1) menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

Ketentuan batas usia ini, seperti disebutkan dalam KHI Pasal 15 ayat (1) didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Hal ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan bahwa calon suami istri harus matang jiwa ragaya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik pula. Berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita (Penjelasan Umum UU Perkawinan, Nomor 4 huruf d).

Secara lengkap Pasal 6 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 membahas tentang usia perkawinan dan perlu izin dari pihak orang tua atau wali.

Baca juga: Wali nikah menurut 4 madzhab
  1. Perkawinan harus didasarkan atas petunjuk kedua calon mempelai.
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
  3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
  4. Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
  5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan kehendaknya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
  6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditegaskan kembali tetang batasan usia pernikahan dalam Pasal 15 ayat 1 dan 2:
  1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawian hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
  2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Kesimpulan:


Usia perkawinan menurut undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974  didalam pasal 7 ayat 1, adalah jika calon mempelai wanita sudah berusia setidaknya 16 tahun (penuh) dan calon mempelai pria sudah berusia 19 tahun (penuh). Dan juga didalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1. Akan tetapi, jika terdapat calon pengantin yang berusia dibawah 21 tahun, mereka harus mendapatkan izin dari orang tuanya dan juga lebih baik jangan bergaul terlebih dahulu.
Load comments

0 Response to "Usia Perkawinan Menurut Undang-undang"

Post a Comment

Peraturan berkomentar:
1. Dilarang berkomentar dengan link aktif.
2. Dilang mempromosikan barang atau jasa.
3. Dalam berkomentar gunakan bahasa yang sopan.
4. No SARA.

Jangan lupa untuk membagikan artikel dalam blog ini kepada teman-teman. Terima kasih sudah berkunjung.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel