-->

Tafsir Ayat Al-qur'an Orang-orang Yang Haram Dinikahi

Berpasangan merupakan fitrah yang Allah tentukan kepada semua makhluk-Nya. Hal itu ditegaskan dalam firman-Nya, “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah).” (QS. Adz-Dzariat: 49).

Menurut M Quraish Shihab, dalam "Wawasan Al-Qur’an", agar tujuan berpasang-pasangan tesebut dapat terwujud, Al-Qur’an menekankan perlu adanya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walapun Al-Qur’an melarang para wali untuk menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alas an untuk menolak peminang yang akan meminang anaknya, sebagaimana firman-Nya: “Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya.” Tertera dalam QS. An-Nur: 31.

Bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan dalam hal ekonomi dianjurkan untuk menahan dirinya dan memelihara kesuciannya, “Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan.” (QS. An-Nur: 33).

Di sisi lain, walaupun syariat Islam sangat menganjurkan bagi umatnya untuk menikah dan memiliki pasangan, akan tetapi syariat Islam pun mengatur dengan sangat baik tentang siapa saja yang baik untuk dinikahi, dan siapa yang buruk untuk dinikahi. Tujuannya adalah untuk memberikan kebaikan bagi umat di dunia dan akhirat.

Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengertian orang yang tidak baik (haram) dinikahi dan macam-macamnya, serta hikmahnya.
Wanita yang haram untuk dinikahi


Pengertian Orang yang Haram Dinikahi


Islam sangat menganjurkan kepada setiap umatnya, baik pria maupun wanita untuk menikah. Bahkan, Islam memandang tidak baik terhadap mereka yang membujang seumur hidupnya tanpa adanya sebab-sebab syar’i.

Nabi Muhamad Saw bersabda:

رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melarang Utsman bin Mazh'un untuk membujang selamanya, karena semata-mata hendak melakukan ibadah kepada Allah. Andaikan beliau mengizinkannya, tentulah kami sudah mengebiri diri kami sendiri. (HR. Muslim : 2488)

Namun demikian, dalam syariat Islam juga terdapat aturan-aturan yang mengatur tentang  kebolehan atau larangan bagi seorang pria untuk menikahi seorang wanita, begitupun sebaliknya, karena sebab-sebab tertentu.

Amir Syarifuddin, dalam "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia" di dalam syariat Islam, orang yang haram dinikahi disebut dengan mahram atau muharramat. Mahram ini kemudian terbagi menjadi dua macam –menurut sifatnya­­­­–, yaitu: mahram muabbad dan mahram muaqqat.

Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh Al-Sunnah, menjelaskan bahwa tidak semua orang dapat dinikahi, tetapi syarat orang yang boleh dinikahi hendaklah bukan orang yang haram bagi orang (lain) untuk menikahinya, baik keharaman itu bersifat abadi (muabbad) maupun sementara (muaqqat).

Selanjutnya Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa orang yang haram dinikahi disebabkan karena adanya hubungan nasab (keturunan atau kekerabatan), mushaharah (pernikahan), dan radha’ (persusuan) merupakan larangan yang bersifat abadi selamanya.

Macam-macam Orang yang Haram Dinikahi

Di dalam Al-Qur’an tidak ada ketentuan yang merinci secara pasti tentang siapa yang baik untuk dinikahi, tetapi hal itu diserahkan kepada selera masing-masing. Sebagaimana firman Allah Swt berikut:

فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ 

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. (QS. An-Nisa’ : 3)

Meski demikian, Nabi Muhamad Saw bersabda: Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung. (HR. Muslim : 2661)

Dalam kaitannya dengan orang yang tidak boleh dinikahi, Al-Qur’an memberikan penjelasan secara rinci terhadap hal tersebut. Sebagaimana firman-Nya:

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا 

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ini tertera dalam surat An-Nisa’ ayat 23.

Asbab Al-Nuzul Surat An-Nisa Ayat 23

Asbab nuzul surat An-Nisa’ ayat 23 adalah berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dari Ibnu Juraij.  Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Juraij pernah bertanya kepada ‘Atha tentang ayat, … وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ …(…[dan diharamkan bagimu] istri-istri anak kandungmu [menantu] …).

K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, dalam "Asbabun Nuzul" memaparkan, ‘Atha menjawab: “Kami pernah memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi Saw dengan bekas istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi Saw).” Kaum musyrikin mempergunjingkannya, sehingga turun ayat tersebut (QS. An-Nisa’: 23) dan (QS. Al-Ahzab: 40), sebagai penegasan dibenarkannya pernikahan dengan bekas istri anak angkat.

Munasabah Ayat

Pada ayat sebelumnya yakni ayat 22 Allah Swt menjelaskan bahwasanya haram bagi seorang pria muslim untuk menikahi wanita-wanita (istri) yang telah dinikahi oleh ayahnya. Hal tersebut memang merupakan hal yang biasa terjadi pada masa sebelum Islam datang dan melarang perbuatan tersebut.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah Ra, bahwasanya pada masa Jahiliah dikenal empat macam pernikahan. 
  1. Pernikahan sebagaimana yang biasa berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. 
  2. Seorang suami yang menyuruh kepada istrinya apabila ia telah suci dari haid untuk  berhubungan badan dengan pria lain, dan bila ia hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya, ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik. 
  3. Sekelompok pria yang berjumlah kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut –tidak seorangpun dapat absen– kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepada nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak dapat mengelak. 
  4. Hubungan badan yang dilakukan oleh wanita tunasusila yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan “bercampur” dengan siapapun yang suka kepadanya. Kemudian Islam datang dan melarang cara pernikahan tersebut, kecuali cara yang pertama.

    Tafsir Ayat Al-qur'an Orang-orang Yang Haram Dinikahi

    حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡت وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا 

    Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Tertulis pada surat An-Nisa : 23)

    Para Mufassir berbeda-beda dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, berikut adalah sebagian dari penafsiran para Mufassir tersebut:

    Ath-Thabari berkata dalam Al-Jami’Al-Bayan, dengan menukil hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas sebagai berikut:

    عن ابن عباس قال: يحرم من النسب سبع، ومن الصهر سبع. ثم قرأ:"حُرّمت عليكم أمهاتكم" إلى قوله:
    "والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم".

    Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam, "Jami’ Al-Bayan fii Ta’wil Al-Qur’an" diharamkan (menikah) dari sebab nasab tujuh (golongan) dan dari sebab pernikahan tujuh (golongan). Kemudian ia (Ibnu Abbas) membacakan (ayat) “hurrimat ‘alaikum ummahatukum” sampai kepada ayat “wal muhshanatu minan nisaa’i illa maa malakat aimanukum”.

    Menurut Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir, berkata:

    وما يحرم من النساء ، فحرّم سبعاً من النسب ، وستاً من الرضاع ، والصهر . فالسبع المحرمات من النسب الأمهات ، والبنات ، والأخوات ، والعمات ، والخالات ، وبنات الأخ ، وبنات الأخت . والمحرمات بالصهر ، والرضاع : الأمهات من الرضاعة ، والأخوات من الرضاعة ، وأمهات النساء ، والربائب ، وحلائل الأبناء ، والجمع بين الأختين ، فهؤلاء ست ، والسابعة منكوحات الآباء ، والثامنة الجمع بين المرأة وعمتها .

    Muhamad bin Ali Asy-Syaukani dalam, "Fath Al-Qadir" diharamkan tujuh (golongan) dari sebab nasab (keturunan) dan enam (golongan) dari sebab persusuan dan sebab pernikahan. Tujuh (golongan) yang diharamkan dari sebab nasab, yaitu: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, anak dari saudara laki-laki (kemenakan), dan anak dari saudara perempuan (kemenakan). Dan yang diharamkan dari sebab pernikahan dan persusuan, yaitu: ibu persusuan, saudara sepersusuan, ibu mertua, anak tiri (jika ibunya telah dicampuri), istri dari anak (menantu), dan mengumpulkan di antara dua saudara (dalam masa yang sama). Kesemuanya berjumlah enam (golongan). Golongan yang ke-7 ialah istri-istri dari ayah dan yang ke-8 ialah mengumpulkan antara perempuan dengan bibinya (dalam masa yang sama).

    Sementara itu, Ash-Shabuni berkata dalam Rawai’u Al-Bayan, sebagai berikut:

    المحرمات التي يحرم الزواج بهن ثلاثة انواع وهن كالاتي: 
    ا- محرمات بالنسب   ب­- محرمات بالرضاع   ج- محرمات بالمصاهرة.

    Menurut Muhamad Ash-Shabuni dalam karyanya yang berjudul, "Rawai’u Al-Bayan" Orang-orang yang diharamkan untuk menikah dengan mereka ada tiga macam, yaitu: pertama, orang yang diharamkan karena sebab nasab; kedua, orang yang diharamkan karena sebab persusuan; ketiga, orang yang diharamkan karena sebab pernikahan.
    • Pertama, orang yang diharamkan karena sebab nasab, yaitu: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, kemenakan perempuan dari anak laki-laki, dan kemenakan perempuan dari anak perempuan. Haramnya menikahi mereka itu adalah keharaman yang sifatnya ta’bid (abadi).
    • Kedua, orang yang diharamkan karena sebab persusuan ada tujuh, seperti halnya mereka yang diharamkan karena sebab nasab. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Saw, “Diharamkanya (menikah) karena sebab persusuan sama seperti diharamkannya (menikah) karena sebab nasab.”
    • Ketiga, orang yang diharamkan karena sebab pernikahan, sebagaiman yang telah dijelaskan oleh ayat Al-Qur’an yang mulia ada empat, yaitu:
    1. Istri dari ayah, karena firman Allah Swt: “Dan janganlah kamu menikahi istri-istri dari ayahmu.” (QS. An-Nisa’: 22)
    2. Istri dari anak (menantu), karena firman Allah Swt: “Dan diharamkan bagimu (menikahi) isteri-isteri anak kandungmu (menantu).” (QS. An-Nisa’: 23)
    3. Ibu mertua, karena firman Allah Swt: “Dan diharamkan menikahi ibu dari istri-istrimu.” (QS. An-Nisa’: 23)
    4. Anak tiri, jika ibunya telah dicampuri, karena firman Allah Swt: “Dan diharamkan menikahi anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (QS. An-Nisa’: 23)

    Lebih lanjut, Ash-Shabuni menambahkan bahwa keharaman menikah itu ada dua macam, yaitu: keharaman yang bersifat ta’bid (selamanya), seperti yang telah dijelaskan di atas. Kemudian, keharaman yang bersifat ta’qit (sementara), seperti menikahi dua wanita bersaudara dalam masa yang sama. Jika berbeda masa, maka pernikahan tersebut tidaklah haram.

    Masih menurut Muhamad Ash-Shabuni, selain itu, ada juga wanita yang haram dinikahi yang sifatnya sementara, yaitu wanita yang masih berada dalam masa iddah (menunggu) dari sebab perceraian dengan suaminya. Ketika masa iddah wanita tersebut sudah selesai, maka wanita itu pun boleh untuk dinikahi.

    Dari uraian di atas, setidaknya ada tujuh (golongan) orang yang haram dinikahi karena sebab nasab, yaitu: 
    1. Ibu
    2. Anak perempuan
    3. Saudara perempuan
    4. Bibi dari ayah
    5. Bibi dari ibu
    6. Kemenakan perempuan dari anak laki-laki
    7. Kemenakan perempuan dari anak perempuan.

    Sama halnya dengan haramnya menikahi orang karena sebab nasab, begitu pula haram menikahi orang karena sebab persusuan. Karena, hubungan persusuan disetarakan dengan hubungan persaudaraan karena sebab nasab akibat dari bercampurnya air susu yang menjadi darah dan daging antara ibu yang menyusui dan anak yang disusuinya.
    Demikian pula orang yang haram dinikahi karena sebab pernikahan, semuanya berjumlah tujuh (golongan) orang, yaitu:
    1. Istri dari ayah
    2. Istri dari anak (menantu)
    3. Ibu dari istri (mertua)
    4. Anak tiri yang ibunya telah dicampuri
    5. Mengumpulkan dua saudara perempuan dalam masa yang sama
    6. Wanita yang bersuami
    7. Wanita yang masih dalam masa iddah.

      Hikmah Al-Tasyri’

      Tidaklah semata-mata Allah memerintahkan atau melarang sesuatu, melainkan pasti ada kebaikan serta hikmat yang amat baik di dalamnya, begitu pula dengan dilarangnya menikahi mereka yang telah disebutkan –pada ayat– di atas.

      Muhamad Washfi mengatakan bahwa diharamkannya menikahi orang karena adanya hubungan nasab memiliki pengaruh besar dalam pembentukan diri seseorang, bukan hanya secara fisik, melainkan juga menyangkut jiwa dan akhlak.

      Menurut Quraish Shihab, perkawinan antar keluarga dekat dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antarsuami dan istri.

      Penyusun artikel : Sofyan Suherman

      Load comments

      Iklan Atas Artikel

      Iklan Tengah Artikel 1

      Iklan Tengah Artikel 2

      Iklan Bawah Artikel