Hadis Tentang Khulu (Perceraian Atas Permintaan Istri)
3/8/18
Pernikahan diartikan sebagai suatu ikatan yang sangat sakral dalam sebuah agama, karena dengan adanya pernikahan ini hasrat seseorang akan tersalurkan dalam bingkai ibadah. Serta akan mendapatkan keturunan yang dilegitimasi oleh agama dan Negara. Namun jangan dikira bahwa hidup dalam sebuah ikatan perkawinan penuh dengan hiasan canda dan tawa bagaikan hidup di dalam surga, melainkan di dalamnya tidak jarang terjadi permasalahan yang selalu muncul dikarenakan keinginan yang berbeda.
Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengakhiri ikatan pernikahannya dengan sebuah perceraian. Pernikahan dapat berakhir dengan 3 cara, yaitu: talak, kematian dan atas putusan pengadilan. Khulu merupakan salah satu bagian dari perceraian atas putusan dari pengadilan. Untuk itu artikel kali ini akan membahas masalah penceraian (terputusnya suatu ikatan perkawinan). Berkaitan dengan masalah perceraian ini ada beberapa hadits yang secara tersirat menyinggung berbagai persoalatan terkait dengan talak atau khulu. Artikel ini dibuat bertujuan agar kita semua mengetahui pengertian dari kandungan As Sunnah yang berkaitan dengan talak beserta kehujjahanya dengan mengkritisi kwalitas sanad maupun matan hadits serta asbabul wurudnya. Berikut dengan uraian beberapa masalah penting terkait talak atau khulu:
- Sebutkan hadits tentang khulu?
- Bagaimana kritik matan dan sanad hadits tentang khulu?
- Bagaimana maqosid syariah dari hadis tersebut?
Khulu adalah perceraian atas permintaan istri |
Hadis Tentang Khulu
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
Artinya: Ahmad bin al-Azhar’i telah menceritakan kepada kami, beliau diceritai oleh Muhammad bin Fadli, dari Hammad bin Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma’ dari Tsauban, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Siapapun seorang isteri yang menuntut cerai dari suaminya (Khulu) tanpa alasan yang benar, maka haram baginya bau surga". (Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah No Hadits 2045)
Jalur sanad hadis tentang khulu di atas:[1]
Hadits yang diteliti berkaitan dengan tema diatas adalah hadits yang berasal dari jalur sanad Ibnu Majah, Berikut ini biografi para perawi dan penilaian dari para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil dan dalam melakukan kritik sanad ini kami menggunakan aplikasi Maktabah Syamilah dan Kitab Imam 9 Hadits.
- Ibnu Majah (209-273 H)
- Ahmad ibn al-Azhar (Wafat 263 H)
- Muhammad bin Fadl (Wafat 224 H)
- Hammad bin Zaid (Wafat 179 H)
- Ayyub (Wafat 131 H)
- Abu Qibalah (Wafat 104 H)
- Abi Asma’ (Wafat tidak dikehatui)
- Tsauban Bajdad (Wafat 54 H)
Nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid Majah ar-Rabi’ al-Qawzin tahun 209 H dan wafat tanggal 22 Ramadhan 273 H. Beliau berguru kepada Ahmad ibn al-Azhar ibn Mani’, Abu Bakar bin AM Syaibah, Muhammad bin Nadhir bin Ammar, Muhammad bin Rumh, Ahmad bin al-azhar, Basyir bin aam dan lain sebagainya. Sedangkan murid-muridnya antara lain adalah Muhammad bin ‘Isa al-Ahbari , Abu hasan al-Qatan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini. Penilaian ulama terhadap ibnu majah antara lain dikemukakan oleh Abu Ya’la al-Khatih al-Qazw’mi, beliau adalah Tsiqoh, saduq, Az-Zahabi dalam tazqiratul huffaz, mengatakan bahwa Ibnu Majah adalah ahli hadits besar.
Nama lengkapnya Ahmad bin al-Azhar bin Munai’ dan beliau termasuk golongan thabaqah al-Wustha dari Tabi’ at-Tabi’in. Nama kinayahnya adalah Abu al-Azhar, beliau tinggal di Nahawand wafat pada tahun 263 H. Beliau berguru kepada: Adam ibn Abi iyas, Ishak bin Sulaiman Razi, Muhammad ibn Fadli dan lain sebagainya. Adapun muridnya antara lain adalah Ibnu Majah yang dalam hal ini beliau sebagai mukharij hadits tersebut. Tabel yang terdapat di bawah ini merupakan komentar dari beberapa ulama tentang sanad yang disebutkan diatas
Ulama | Komentar |
---|---|
Abu Hatim Ar Rozy | Shaduuq |
An Nasa'i | la ba`sa bih |
Ad Daruquthni | la ba`sa bih |
Abu Hatim | Shaduuq |
Ibnu Hibban | disebutkan dalam 'ats tsiqaat |
Adz Dzahabi | Hafizh |
Nama lengkapnya Abu Nu’man, Muhammad bin Fadl. Nama Kuniyah-nya adalah Abu Nu’man. Beliau termasuk ta’bi’ at-Tabiin kalangan biasa yang bernasab kepada as-Sadusi,tinggal di Basrah, dan wafat disana pada 224 H. Beliau berguru antara lain kepada: Hammad bin zaid bn Dirham, Hammah bin Salamah bin Dinar, ‘Abdullah ibn Mubarak, bin Wadih, Mahdi bin Maimun dan lain sebagainya. Adapun murid-muridnya antara lain:Ahmad bin al-Azhar bin Mani; Ubbad ibn al-Wafid ibn Khalid, Muhammad ibn ‘Abdul Malik Ibn Marwan, Muhammad ibn Yahya ibn ‘Abdullah ibn Khalid ibn Faris Duaib, Harun ibnAbdulldh bin Marwan. Tabel yang terdapat di bawah ini merupakan komentar dari beberapa ulama tentang sanad yang disebutkan diatas.
Ulama | Komentar |
---|---|
Adz Dzahabi | Tsiqah |
Al 'Aji | Tsiqah |
An Nasa'i | la ba`sa bih |
Ad Daruquthni | Tsiqah |
Ad Daruquthni | Berubah di akhir usianya |
Ibnu Hajar al 'Asqalani | Tsiqah |
Ibnu Hajar al 'Asqalani | Berubah di akhir usianya |
Al Bukhari | Berubah di akhir usianya |
Adz Dzahabi | Hafizh |
Nama lengkapnya Hammad bin Zaid bin Dirham. Beliau termasuk tabaqat wusta dari Tabi’ at-Tabi’in. Nasab beliau kepada al-Azdi al-Juhdami. Nama kinayah-nya Abu Isma’il. Beliau tinggal di Basrah dan wafat di sana pada tahun 179 H. Beliau berguru antara lain kepada: Ishaq bin Suwaid bin Habirah, Anas Ibn Sirin, Ayyub ibn Abi Tamimah Kisan, Badil Ibn Maisarah, Sabit Ibn Aslam dan lain sebagainya. Tabel yang terdapat di bawah ini merupakan komentar dari beberapa ulama tentang sanad yang disebutkan diatas.
Ulama | Komentar |
---|---|
Ahmad bin Hambal | Seorang Imam Kaum Muslimin |
Ibnu Hibban | Disebutkan dalam 'ats tsiqaat |
Ibnu Hajar al 'Asqalani | Tsiqah tsabat Faqih |
Nama lengkapnya Ayyub bin Abi Tamimah Kisan. Beliau termasuk Tabaqat sugra dari tabi’in, bernasab kepada as-Sakhtayani. Nama kinayah-nya Abu-Bakar. Beliau tinggal dan wafat di Basrah pada tahun 131 H. Beliau berguru antara lain kepada:Al-Hasan ibn Abi Hasan Yasar, Hafsah Ibn Sirin, Hamid bin Hilal ibn Khalid bin Dhuraik, ‘Abdullah bin Zaid in Amr bin Nabil. Murid-muridnya antara lain: Ismail bin Ibrahim bin Muqsim, Jarir Hazim bin Zaid, Hammid bin Zaid bin Dirham dan lain sebagainya. Tabel yang terdapat di bawah ini merupakan komentar dari beberapa ulama tentang sanad yang disebutkan diatas.
Ulama | Komentar |
---|---|
Yahya bin Ma'in | Tsiqah |
an Nasa'i | Tsiqah Tsabat |
Muhammad bin Sa'd | Tsiqah Tsabat |
Adz Dzahabi | Imam |
Nama lengkapnya Abu Qibalah ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amr bin Nabil. Beliau termasuk tabaqat wusta min at-tabi’in. Nasabnya pada al-Jarami. Beliau tinggal di Basrah dan wafat di Syam pada tahun 104 H. Beliau berguru kepada Anas bin Malik bin Nadr bin Damdan bin Zaid bin Haram, Sabit bin Dahhak bin Khalifah, Huzaifah bin Yaman, ‘Amr bin Mirtsad,’Amr bin Mu’awiyah. Murid-muridnya antara lain: Ayyub bin Abi Tamimah Kisan, Syaiban ibn ‘Abdurrahman, Qatadah bin Di’amah bn Qatadah, Khalid bin Mahran dan lain sebagainya. Table di atas ini merupakan biografi dari sanad yang disebutkan. Sedangkan tabel yang terdapat di bawah ini merupakan komentar dari beberapa ulama tentang sanad yang disebutkan diatas.
Ulama | Komentar |
---|---|
Ibnu Sa'ad | Tsiqah |
Ibnu Kharasy | Tsiqah |
Ibnu Sirin | Tsiqah |
Ibnu Hibban | Tsiqah |
Al 'Ajli | Tsiqah |
Abu Hatim | Tsiqah |
Ibnu Hajar al Atsqalani | Tsiqah fadlil |
Nama lengkapnya adalah ‘Amr ibn Mirtsad Abi Asma’. Beliau termasuk tabaqat wusta min-tabi’in. Nasabnya pada ar-Rahbi ad-Dimasyqi. Beliau tinggal di Syam dan wafat disana, tapi tahun wafatnya tdak diketahui secara pasti. Beliau berguru kepada Sauban Bujaddad. Sedangkan murid-muridnya antara lain: Abu Qulabah ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amr bin Nail, Makhul,Yahya bin Haris. Tabel yang terdapat di bawah ini merupakan komentar dari beberapa ulama tentang sanad yang disebutkan diatas.
Ulama | Komentar |
---|---|
Ibnu Hibban | Disebutkan dalam 'ats tsiqaat |
Ibnu Hajar al Atsqalani | Tsiqah |
Al 'Ajli | Tabi'i Tsiqah |
Adz Dzahabi | Men-tsiqahkannya |
Beliau termasuk kalangan sahabat yang bernasab al-Hasyimi. Nama kinayah-nya adalah Abu ‘Abdullah. Beliau tinggal di Syam dan wafat di Hulwan pada tahun 54 H. Gurunya adalah Rasulullah Saw sendiri. Para uluma menyatakan bahwa beliau termasuk dari sahabat yang mempunyai tingkat keadilan dan ke-siqah-an yang paling tinggi. Murid-muridnya antara lain: Jubair bin Nafir bin Malik, Rasyid bin Sa’d, Aba Asma(Amr bin Mirtsad) dan lain sebagainya.
Kritik Sanad Hadis Khulu:
Dalam kajian persambungan sanad diatas, semua perawi mengakui bahwa mereka saling terkait guru dan murid sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh hadits ini bersambung (muttashil) sampai Rasulullah SAW. Tetapi dalam salah satu sanadnya ada yang bernama Muhammad bin al-Fadl menurut beberapa ulama, beliau ini menjelang akhir hayatnya sering keliru dalam ingatannya atau kurang kuat tingkat kedhabitannya (ingatannya), sehingga Maka dengan demikian bahwa hadits tentang khulu segi diatas berderajat hasan, Tetapi karena hadist tersebut itu didukung oleh hadist-hadist lain yang sahih seperti riwayat Imam Ahmad, Imam ad-Darimi, Imam at-Tirmizi, maka derajatnya bisa naik menjadi sahih ligairih.
Kritik Matan Hadis Khulu
Sebanarnya untuk menyebutkan suatu hadis matan atau redaksi hadisnya shahih atau tidak diperlukan 5 point untuk membuktikannya, namun pada hadis ini hanya disebutkan 3 point saja.- Redaksi hadits tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
- Redaksi hadits tidak bertentangan dengan Hadits
- Redaksi hadits tidak bertentangan dengan Ra’yu dan logika sehat
Q.S Al-Baqarah ayat 229 yang artinya “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS. 2:229)[2]
Dari Abu Zubair bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri anak perempuan dari ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan mahar kepada istrinya berupa sebuah kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya (kepada si istri), “Maukah kamu mengembalikan kebun pemberian suamimu itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya tambah”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Adapun tambahan itu tidak usah, cukup kebunnya saja”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi SAW mengambil kebun itu untuk diberikan kepada Tsabit dan beliau menceraikannya. Kemudian setelah hal itu sampai kepada Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima putusan Rasulullah SAW”. [HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277][3]
Hadits riwayat Ibnu Majah diatas adalah sebuah hadits yang menerangkan dimana seorang perempuan yang meminta khulu atau cerai tebus kepada suaminya tanpa ada alasan yang jelas maka haram baginya mencium bau surga, apabila isi hadits ini kita implementasikan secara tekstual maka kaum wanita tidak akan setuju karena seolah-olah hadits ini menyudutkan perempuan dan dianggap tidak adil, hal ini tidak demikian karena Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas, terdapat riwayat bahwa Habibah pernah datang kepada Rasulullah mengadukan perihal suaminya yaitu Tsabit bin Qais bin Syammas al-Ansari. Kata Habibah; Ya Rasulullah, saya memang tidak mencela kebaikkan dan akhlak suami saya, tetapi saya khawatir berbuat kekufuran padanya. Seandainya saya tidak takut kepada Allah, niscaya saya akan ludahi wajah suamiku. Kemudian Rasulullah mengatakan, Apakah kamu mau mengembalikan kebun yang telah diberikan suamimu kepadamu? Dia menjawab: mau ya Rasul. Maka ia pun mengembalikan kebunnya, dan Rasulullah lalu meceraikan keduanya. Perawi hadist itu lalu berkata bahwa ini adalah peristiwa khulu pertama kali dalam Islam. Dari penjelasan tersebut, artinya larangan istri meminta cerai itu hanya berlaku jika permintaan cerai itu dilakukan tanpa ada alasan yang dibenarkan syar’i, seperti penegasan Nabi dalam hadist min gairi ma ba’sin (permohonan cerai tanpa alasan). Alasan-alasan meminta cerai yang dapat dibenarkan itu misalnya suami tidak mau memberi nafkah lahir atau tidak mampu memberi nafkah batin karena impoten atau suami selingkuh, pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika memang ada alasan syar’i, maka istri diberikan hak untuk meminta cerai (khulu) kepada suaminya. [4]
Maqosid Syariah Hadis Tentang Khulu
- Saling melengkapi dan menerima kekurangan pasangan masing-masing misalnya ingin menjatuhkan khulu kepada suaminya penyebabnya adalah karena suaminya wajahnya sudah membosankan dan tidak menarik lagi atau sebaliknya, lantas apakah dengan persoalan seperti ini seorang istri begitu mudahnya menjatuhkan khulu karena penyebab seperti itu.
- Saling menutupi aib masing-masing pasangan jika terdapat perceraian maka secara tidak langsung pasti beritanya akan menyebar keseluruh tetangga dan pastinya akan menjadi pembicaraan hangat, jika perceraiannya karena penyebab syar’i tidak masalah namun jika alasan perceraiannya karena alasan pribadi pasangan seperti impoten dan penyakit lainnya maka itu akan menjadi aib bagi setiap pasangan.[5]
[1] Software maktabah syamilah dan kitab imam 9 hadits
[2] Al-Qur’an dan terjemah
[3] As-salih, Subhi, ‘Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, Beirut: Dar’Ilm Lil Malayin, 1959
[4] lyas, Hamim, Dkk, Perempuan Tertindas, Yogyakarta, eLSAQ Press, 2005
[5] An-Naim, Ahmed Abdullah, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedi, Yogyakarta : LKiS, 1994
[2] Al-Qur’an dan terjemah
[3] As-salih, Subhi, ‘Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, Beirut: Dar’Ilm Lil Malayin, 1959
[4] lyas, Hamim, Dkk, Perempuan Tertindas, Yogyakarta, eLSAQ Press, 2005
[5] An-Naim, Ahmed Abdullah, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedi, Yogyakarta : LKiS, 1994