-->

Sebab sebab Seseorang Tidak Mendapat Warisan (Mawani’ al-Irts)

Pada dasarnya mereka yang termasuk terlarang untuk menerima warisan yang walaupun mereka termasuk ahli waris adalah berupa “status” diri seseorang, baik karena tindakan sesuatu ataupun karena keberadaannya dalam posisi tertentu sehingga berakibat seseorang tidak mendapat warisan. 

Amin Husein Nasution, dalam bukunya "Hukum Kewarisan" menjelaskan bahwa yang dimaksud penghalang mendapat warisan menurut ulama‟ faraid yaitu suatu keadaan atau sifat yang menyebabkan seseorang atau ahli waris tidak dapat menerima warisan padahal sudah terdapat sebab, rukun dan syarat. Pada awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan, tetapi oleh karena keadaan tertentu berakibat dia tidak mendapat harta warisan.

Penyebab Seseorang Tidak Mendapat Warisan

Ada empat keadaan yang telah disepakati oleh ulama‟ madzhab empat, yang bisa menyebabkan seorang ahli waris tidak memperoleh harta warisan dan satu lagi masih dipertentangkan yaitu:
Sebab-sebab penghalang waris
Sebab sebab Seseorang Tidak Mendapat Warisan (Mawani’ al-Irts)

a. Pembunuhan

Ulama‟ empat madzab sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi harta orang yang terbunuh itu walaupun telah ada sebab-sebab kewarisan dan telah memenuhi rukun dan syarat kewarisan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

عن عمر بن شعيب عن ابيو عن جده عن النبي صلى الله عليو وسلم قال: لايرث القاتل شيئا رواه ابو داود 

Artinya: “Dari Amr bin Syu‟aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw. bersabda: "orang yang membunuh tidak dapat mewarisi sesuatu pun dari harta warisan orang yang dibunuhnya.”

عن أبي ىريرة عن النبي صلى الله عليو وسلم قال : القاتل لايرث 

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari nabi saw. Bersabda: “Pembunuh tidak boleh mewarisi

Walaupun keempat ulama‟ sepakat bahwa pembunuhan bisa menjadi penghalang seseorang bisa mendapat warisan, akan tetapi keempat ulama tersebut mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang jenis pembunuhan yang bisa berpengaruh sebagai penghalang terhadap hak kewarisan. Menurut ulama Hanafiyah, pembunuhan yang bisa menghalangi memperoleh harta warisan ialah pembunuhan yang bersanksi qhishosh dan bersanksi kaffaroh.  

Adapun pembunuhan yang bersanksi kaffarah, yaitu pembunuhan yang dikenai sanksi pidana berupa pembebasan budak Islam atau kalau tidak mungkin maka melakukan puasa dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersanksi kaffarah ini ada tiga macam:
  1. Serupa atau mirip dengan sengaja (syibhul amdi)
  2. Membunuh karena keliru (qathlul khoto)
  3. Membunuh yang dianggap keliru (al-jari majrol khotho)

Ulama Syafi‟iyah mempunyai pendapat, semua orang yang masuk dalam kategori pembunuh maka dia tidak dapat mewaris. Ulama Syafiiyah tidak membeda-bedakan antara pembunuhan dengan sengaja atau tidak sengaja, membunuh dijalan yang haq (benar) seperti orang yang meng-qishosh, algojo yang mendapat perintah dari imam atau qadli untuk mengeksusi, pembunuhan langsung atau tidak langsung, membunuh dengan paksaan atau atau atas kehendak sendiri, semua itu termasuk penghalang untuk mendapat warisan.

Ulama Malikiyah hanya mengenal dua macam pembunuhan yaitu: pembunuhan sengaja yaitu pembunuhan itu dilakukan dengan niat, dan pembunuhan tidak sengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan tidak ada niat membunuh. Pembunuhan sengaja menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan, sedang pembunuhan tidak sengaja tidak menghalangi pewarisan.
Sedangkan menurut Ulama‟ Hanabilah semua pembunuhan yang dikenai sanksi qishash, diyat, dan kaffarah merupakan penghalang bagi ahli waris untuk mendapakan harta warisan.

b. Perbudakan

Ulama sepakat bahwa budak tidak dapat mewarisi harta waris dan tidak dapat pula mewariskan. Baik budak itu sempurna seperti budak qinn maupun budak yang tidak sempurna seperti budak mukhatab. Ia tidak dapat mewarisi karena ia dianggap tidak dapat mengurus harta. Dan tidak pula dapat mewariskan karena dia dianggap melarat, karena pada kenyataannya budak adalah harta milik tuannya.

Apabila budak diberi hak waris maka harta yang diperolehnya akan menjadi milik tuannya. 

۞ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا عَبۡدٗا مَّمۡلُوكٗا لَّا يَقۡدِرُ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَمَن رَّزَقۡنَٰهُ مِنَّا رِزۡقًا حَسَنٗا فَهُوَ يُنفِقُ مِنۡهُ سِرّٗا وَجَهۡرًاۖ هَلۡ يَسۡتَوُۥنَۚ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٧٥ 
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.

Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.

Seorang hamba sahaya secara yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Karena hak-ha kebendaannya berda pada tuannya. Oleh karena itu, ia tidak bisa menerima bagian warisan dari tuannya. Lebi dari itu, hubungan kekerabatan budak dengan saudara atau keluarganya sendiri terputus. Ahmad Muhammad Al-Jurjawy mengemukakan bahwa budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya apabiala tuannya meninggal dunia. Karena budak irtu sendiri statusnya sebagai “harta” milik tuannya. Sebagai “harta” tentu tidak bisa memiliki, tetapi dimiliki, dan yang memiliki hanyalah yang berstatus mendeka, yaitu tuannya. 

Ahmad Rafiq dlm bukunya "Fiqih Mawaris"  menjelaskan, demikian pula apabila ia sebagai muwaris, ia tidak bisa mewariskan hartanya sebelum ia merdeka. Misalnya ada seorang budak mukatab, yaitu budak yang berusaha memerdekakan dirinya sendiri dengan menyatakan kesanggupan untuk membayar angsuran sejumlah uang, atau melalui melakukan suatu pekerjaan, menurut perjajian yang telah disepakati antara dirinya dan tuannya, meskipun statusnya sebagai budak tidak penuh, ia tidak bia mewarisi maupun mewariskan kekeyaan yang ditinggalkannya.[3]

c. Berlainan Agama

Berlainan agama yang dimaksud dalam hukum waris Islam adalah, seseorang yang beragama Islam tidak bisa mewaris harta warisan dari non-Muslim begitu juga sebaliknya, orang yang beragama selain Islam tidak bisa mewaris harta warisan dari orang Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
Artinya:“Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim.” (HR Jamaah kecuali An- Nasai)

Hadis Rasulullah saw. lainnya:

عن عمروبن شعيب عن ابيو عن جده عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليو وسلم لايتوارث اىل ملتين شتى

Artinya:”Dari Amr bin Syu‟aib dari ayahnya dari kakeknya Abdullah bin Amr berkata, Rasulullah saw. bersabda “tidak bisa saling mewaris orang yang berbeda agama”

Nabi SAW sendiri mempraktikkan pembagian warisan, dimana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang mewarsis. Ketika paman beliau, Abu Thalib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi SAW meninggal sebelum masuk Islam, oleh Nabi SAW harta warisnya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu ‘Uqail dan Thalib. Sementara anak-anaknya yang telah masuk Islam, yaitu ‘Ali dan Ja’far, oleh beliau tida diberi bagian.

Penjelasan diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi pertimbangn apakah antara ahli waris dam muwaris berbeda agama atau tidak, adalah pada saat muwaris meninggal. Karena pada saat itulah hak warisan itu mulai berlaku. Jadi misalnya ada seorang muslim meninggal dunia, terdapat ahli waris anak laki-laki yang masih kafir, kemudian seminggu setelah itu masuk Islam, meski harta warisan belum dibagi, anak tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan si mati. Dan bukan pada ssat pembagian warisan yang dijadikan pedoman. Demikan kesepakatan mayoritas ulama.

Ahmad Rafiq menambahkan, Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa apabila seorang ahli waris masuk Islam sebekum pembagian warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena ststus berlainan agama sudah hilang sebelum harta warisan dibagi.

d. Berlainan Negara

Yang dimaksud dengan berlainan negara adalah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh waris dan muwaris. Semua ulama sependapat menetapkan bahwasanya berlainan tempat, tidak menjadi penghalang bagi warisan antara sesama islam, apabila negara yang ditempati oleh waris dan muwaris sama-sama negara islam. 

Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
  • Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang berbeda.
  • Kepala negara yang berbeda.
  • Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya.

Jadi, menurut Ahmad Rafiq dari ilustrasi diatas, yang lebih prinsip untuk diperhatikan, tampaknya adalah soal adanya perbedaan agama antara ahli waris dan muwarisnya yang berada di dua negara yang berbeda. Meskipun berbeda negara, jik tidak ada perbedaan agama, maka tidak ada halangan untuk saling mewarisi.

Kesimpulan:
Sebab-sebab yang dapat menghalangi seseorang mendapat warisan ada empat, yaitu: pertama, pembunuhan, Ulama empat madzab sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi harta orang yang terbunuh itu walaupun telah ada sebab-sebab kewarisan dan telah memenuhi rukun dan syarat kewarisan. Kedua, perbudakan. Ulama sepakat bahwa budak tidak dapat mewarisi harta waris dan tidak dapat pula mewariskan. Ketiga, berlainan agama. Keempat, berlainan negara.

Load comments

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel